Sabtu, 31 Maret 2012

Catatan Kuliah - Software Engineering

TIPS mengerjakan Tugas Proyek Perangkat Lunak


Tugas Proyek adalah bagian yang tak terpisahkan dari Perkuliahan Rekayasa Perangkat Lunak ataupun Analisa Perancangan Sistem. Tidak bisa dipungkiri, saya termasuk dosen yang mempercayai bahwa dengan memberikan "pengalaman" berdasarkan "real-case" kepada mahasiswa, maka teori2 yang berhubungan dengan perangkat lunak, akan bisa dipahami dengan lebih mendalam (entah benar atau tidak, saya hanya berangkat dari "pengalaman" saya sendiri). Alhasil, nilai kelulusan perkuliahan RPL atau ANAPRANCIS ini, akan sangat ditentukan oleh "keberhasilan" mengerjakan Tugas Proyek.

Untuk itu, mahasiswa PERLU menyiasati pembuatan Tugas Proyek tersebut dengan bijak. Berikut ini saya memberikan beberapa TIPS terkait pengerjaan Tugas Proyek Mahasiswa.

1. Kemampuan "SOFT" dalam "staffing the project".
Yang saya maksudkan dengan "staffing the project" adalah berkaitan erat dengan sisi "soft" proyek perangkat lunak. Sisi "SOFT" ini lebih terkait dengan aspek subyektifitas; terutama dalam MEMILIH rekan kelompok. Thumb of Rule dalam memilih rekan kelompok adalah PILIHLAH REKAN KELOMPOK yang bisa bekerja-sama dan bekerja-bersama. Bekerja sama dan bekerja-bersama adalah istilah yang serupa tapi tak sama. Bekerja sama bisa diartikan dengan saling-memiliki-perhatian sedangkan bekerja-bersama diartikan sebagai saling-terlibat. Dalam pandangan saya, keberhasilan kelompok dimana setiap anggotanya kelompoknya bekerja-bersama akan jauh lebih SUKSES jika dibandingkan dengan kelompok yang hanya bekerja-sama; apalagi untuk kelompok yang TIDAK bisa bekerja-sama.

Bertahun-tahun menjadi dosen pengasuh mata kuliah Rekayasa Perangkat Lunak, Analisa Perancangan Sistem, Pemodelan berorientasi Obyek dan Manajemen Proyek Perangkat Lunak; membuat saya semakin menyadari bahwa Keberhasilan Tugas Proyek lebih ditentukan dari sisi "SOFT"; bukan teknis maupun manajemen. Statistik KEBERHASILAN (setidaknya menurut pengalaman saya mengajar) ada pada kelompok2 yang BERHASIL ataupun CUKUP BERHASIL menciptakan suasana kondusif dalam "bekerja-sama" dan "bekerja-bersama". Sedangkan untuk kelompok2 yang hanya "baku-harap" (dialek Manado yang berarti tidak-saling bertanggung-jawab, lepas tangan), cenderung akan GAGAL dalam penyelesaian Tugas Proyek.


2. Aspek Teknis:  Pengembang menggunakan “tools” yang baru atau belum dikuasai!
Mahasiswa memiliki kecenderungan untuk menggunakan “new software tools” yang belum pernah mereka gunakan sebelumnya. Mungkin kecenderungan ini disebabkan karena sifat mahasiswa yang ingin “up-to-date” dengan perkembangan terakhir. Mereka berpikir, dengan menggunakan tools yang baru, berarti lebih “modern”. Mereka lupa bahwa dalam pengembangan perangkat lunak, tidak hanya diperlukan tools”yang modern atau super canggih.
Penggunaan tools yang baru tidak dipersoalkan, sekiranya, mahasiswa menyadari bahwa implikasi yang muncul dari pilihan tersebut. Hal pertama adalah semakin dibutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaian tugas proyek, karena mahasiswa membutuhkan waktu extra untuk menguasai tools yang baru tersebut. Hal kedua adalah meningkatkan resiko terjadinya “technical problems” akibat dari penggunaan tools yang belum sepenuhnya dikuasai.
Jika memang dalam kegiatan pengembangan perangkat lunak, dibutuhkan penggunaan “tools” yang baru, maka seyogianyalah, mahasiswa yang bersangkutan, bisa menyediakan waktu extra hingga mahir menggunakan tools yang diinginkan.
Aspek teknis ini yang saya nilai sering MENJADI PENYEBAB KEGAGALAN utama bagi mahasiswa2 dalam menyelesaikan Tugas Proyek.
Di sisi lain, seorang dosen SANGAT MENGANJURKAN agar supaya para mahasiswa bisa up-to-date dengan tools terkini; namun, dalam kenyataannya sering terjadi tidak demikian. Pengalaman saya, para mahasiswa cenderung menggunakan tools yang PROPRIETARY (misalnya produk2 dari Microsoft). Mereka telah begitu TERJAJAH oleh Microsoft, sehingga tidak bisa lagi memanfaatkan dengan jeli, produk2 open-source yang GRATIS, TIDAK MENGIKAT DAN MENJAMUR. Sekali lagi, ini adalah masalah "paradigma" berpikir, bukan masalah "teknis".

3. Aspek User: Ketidakpastian “requirements”.
Inilah TANTANGAN yang "sengaja" disediakan oleh dosen pengasuh yang menekankan pada "real-case scenario".
Tugas proyek mahasiswa yang berkaitan dengan pengembangan perangkat lunak, seperti misalnya pembangunan aplikasi tertentu, tak dapat dipungkiri harus berkaitan dengan end-user atau customer sebagai pengguna aplikasi tersebut. Ini berarti kepentingan (atau biasa kita terjemahkan sebagai “needs”) dari end-user harus kita perhatikan.
Proses memahami needs dari end-user merupakan suatu seni tertentu yang harus dikuasai mahasiswa. Kegagalan dalam memahami needs berakibat pada ketidakpastian requirements. Akibat yang terjadi adalah scope-creep; yakni semakin meluasnya requirements dari end-user.
Namun tidak bisa dipungkiri, ketidakpastian “requirements” ini juga disebabkan oleh end-user. Pada umumnya (menurut temuan penulis), end-user sendiri tidak terlalu memahami “requirements” yang mereka inginkan terhadap aplikasi yang akan dikembangkan.
Komitmen pada rencana kerja (seperti WBS) yang telah disepakati sebelumnya merupakan jawaban untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, kemampuan mahasiswa dalam menemukan masalah yang akan diselesaikan dengan aplikasi yang akan dibangun merupakan suatu keharusan.
Jika kita mengingat perkataan dari Roger Pressman dalam bukunya yang berjudul Software Engineering: A Practitioner's Approach; maka beliau mengatakan bahwa:
TANTANGAN SESUNGGUHNYA bagi para pengembang aplikasi/sistem perangkat lunak adalah bagaimana membangun aplikasi/sistem yang sesuai dengan "user's needs and expectations".
Dogma ini HARUS dapat dipahami oleh setiap mereka yang menekuni software engineering. Sehingga, menerapkan Tugas Proyek dengan REAL-CASE STUDY adalah PILIHAN MUTLAK yang tidak bisa dihindari. Kesulitan2 yang SUDAH PASTI akan dihadapi oleh Tim Pengembang; harus disiasati dengan bijak.

3. Aspek Teknis: Sistem yang “incomplete”.
Masalah ini sedikit terkait dengan bahasan sebelumnya. Seringkali, mahasiswa terjebak dalam kecenderungan untuk “sesegera” mungkin menyelesaikan aplikasi yang diinginkan end-user; akibatnya mahasiswa tidak berusaha memahami sepenuhnya “proses bisnis” yang dimiliki oleh end-user sebagai bagian dari suatu organisasi yang lebih besar dan kompleks.
Seperti kita ketahui, sekarang ini, kebanyakan proyek pengembangan aplikasi modern ditujukan untuk menunjang “bisnis proses” dari suatu organisasi. Mau tidak mau, para pengembang aplikasi “harus” mencoba memahami gambaran besar bisnis proses yang dimiliki organisasi dan kemudian mengerti gambaran detail, yang mana aplikasi tersebut akan dibangun.
Pemahaman yang tidak komprehensif akan proses bisnis organisasi akan membuat tugas proyek mahasiswa tidak memiliki tingkat integrasi yang memadai dengan aplikasi-aplikasi lain yang telah dikembangkan terlebih dahulu (ataupun yang akan dikembangkan kemudian) dalam organisasi.
Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan menggunakan metode “prototyping” dalam pengembangan perangkat lunak; sehingga “working-system” bisa segera dibangun mahasiswa dan ditunjukkan kepada end-user. Penyesuaian terhadap “working-system” ini bisa terus-menerus dilakukan hingga kebutuhan dari end-user dipenuhi.
Paradigma pemrograman berorientasi obyek dengan menggunakan metode Unified Software cukup SAKTI untuk mengatasi masalah ini. Sekali lagi, dibutuhkan pemahaman yang komprehensif bagi tim pengembang untuk memahami metode yang akan digunakan.


4. Aspek Manajemen: Kurangnya komitmen end-user dan pengembang.
Faktor ini merupakan salah satu “masalah klasik” dalam pengembangan perangkat lunak. Terlebih bila berhubungan dengan penyelesai tugas proyek mahasiswa. Pihak end-user sering menganggap remeh tugas proyek mahasiswa, apalagi jika penyelesaian tugas proyek tersebut harus menggunakan sumber daya end-user (misalnya waktu untuk wawancara maupun peralatan lain).
Permasalahan yang berkaitan dengan sikap mental dari end-user selaku pemilik proyek maupun mahasiswa selaku pengembang harus disikapi dengan bijaksana. Pihak end-user harus memiliki komitmen yang kuat dalam pengembangan proyek dengan cara memahami manfaat yang dapat diperoleh dari aplikasi yang akan dihasilkan. Pihak mahasiswa pun harus bisa menegaskan komitmen end-user dengan memaparkan rencana kerja proyek dengan terperinci dan menyeluruh. Dengan memiliki pemahaman akan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya aplikasi yang akan dikembangkan, diharapkan bisa mempertegas komitmen dari end-user.
Terkadang tim pengembang sendiri tidak mempunyai dan menunjukkan komitmen yang serius dalam menyelesaikan tugas proyek. Sangat disayangkan, dalam pengalaman saya mengajar, maka masih ditemukan para mahasiswa dengan low-level commitment untuk menyelesaikan tugas proyek. Ditambah dengan suasana yang "longgar" dari dosen yang bersangkutan, maka kondisi "low-level commitment" ini akan terus terjadi.

Sekali lagi, ini BUKAN berkaitan dengan masalah teknis; melainkan masalah "moral" dari pribadi mahasiswa ataupun dosen yang bersangkuta. Jika ternyata hal ini terjadi dalam Kuliah yang cenderung hanya membahas Aspek Teknis "how-to" saja ... makan dosen pengajar tidak bisa disalahkan ...(paling tidak, itulah menurut saya). Dalam dunia akademis, tentu saja, kurangnya komitmen mahasiswa akan berpengaruh dalam "nilai akhir"; meskipun aspek penilaian dimensi ini masih subyektif menurut saya. Namun, jika terjadi dalam "dunia kerja" .. maka RESIKO yang ada sangatlah besar.


Selamat mengerjakan Tugas Proyek ...

Akun Twitter @manadokota, Amoy Show dan @stanlysk

(tulisan ini sudah pernah diterbitkan sebagai Notes Facebook, namun diterbitkan kembali dengan perubahan seperlunya, dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun @manadokota yang ke-2, 25 Maret 2012)

[Petunjuk untuk membaca tulisan ini: @stanlysk dibaca sebagai saya]

Pengantar Tulisan:
@manadokota: Ka, bsk siang kt diundang di amoy show pacific tv ttg @manadokota boleh dg kk sbg panelis pakar IT? :)
@stanlysk: o ya? jam brpa? besok kita ngajar sampe siang ... selesai ngajar baru bisa ... :D 
@manadokota: jam 1 ka mulai take syuting, plis ka hehehe,.. ngajar sampe jam brp? kk bw kendaraan? ato nanti kt jemput *babuju* 

Demikianlah, hingga pada akhirnya, Kamis, 27 Januari 2011, pukul 13.30, @stanlysk datang ke Pacific TV, di wilayah seputaran daerah Winangun (Jl. Anugerah). @stanlysk sedikit terlambat datang ke studio; selain disebabkan karena cuaca Kota Manado yang “malo-malo mau” mo hujan deras, juga karena jarak tempuh @stanlysk menuju ke Studio Pacific TV yang lumayan jauh (hari itu @stanlysk harus menunaikan tugas mengajar para mahasiswa Informatika – Unika De La Salle, di seputaran negeri Wonasa).

Menarik dicermati, karena @stanlysk berkomunikasi dengan @manadokota; tidak lagi menggunakan “sarana” komunikasi “normal”. Selama ini (sebelum hari Kamis, 27012011), @stanlysk TIDAK PERNAH bertemu muka-dengan-muka dengan makhluk ciptaan Tuhan yang menyebut dirinya @manadokota (kita sebut saja dia, admin @manadokota). Ternyata, orang-dunia-nyata dari Admin @manadokota ini memiliki pribadi yang sangat attraktif, visioner dan pragmatis.

Nah, admin @manadokota ini, @stanlysk kenal secara akrab (atau “merasa sangat kenal”?) dari kicau twitter-an nya yang sangat informatif. Iya, sangat informatif, apalagi berkenaan dengan informasi yang terkait day-to-day kehidupan twitterati (baca: warga negara twitter) yang hidup di “dusun” Kota Manado. Sebut saja salah satu contoh, misalnya pada hari minggu, 23 Januari 2011, admin @manadokota men-twit sebuah seruan #moral untuk semua followers-nya (baca: semua yang “bisa” melihat “kicau”-an) untuk melakukan #doa buat Kota Manado pada pukul 12.00 waktu Manado. Nah, respons yang sangat “sibuk” mulai terlihat melalui “REPLY” (fasilitas twitter untuk “membalas” sahutan twitter yang lain), "QUOTE" (fitur twitter untuk menampilkan kembali isi twitter dengan perubahan seperlunya) ataupun "RT" (fasilitas twitter untuk “menampilkan-ulang sahutan twitter yang lain) akan kicauan admin @manadokota. Hmm, bukankah ini hal yang biasa terjadi? Iya, peristiwa ‘sahut-menyahut’ (melalui RT, QUOTE dan REPLY) kicauan twitter seseorang memang hal yang biasa terjadi. Namun, mari kita lihat konteks-nya. Followers akun @manadokota sekitar 9000-an orang (sekarang, menjelang hut yang kedua, followers @manadokota sudah berjumlah lebih dari 40.000 followers). Wow, ini merupakan akun twitter yang “fantastis” jika diperbandingkan dengan jumlah “warga” kota Manado yang menggunakan akun twitter. Tambahan lagi, dalam “kasus” ajakan #moral dari admin @manadokota ini, yang turut me-RT dan me-REPLY seruan moralnya itu sekitar 6000-an akun pada garis-waktu (terjemahan “timeline” dari twitter; yang menunjukkan “sejarah” postingan dari akun twitter seseorang). Alhasil, kita dapat berasumsi bahwa ada sekitar 6000-an orang Manado yang mengetahui dan (kemungkinan besar) melakukan anjuran admin @manadokota untuk melakukan doa buat Kota Manado tercinta. Gila cing … ini merupakan suatu kebangkitan “gerakan” yang ruarrrr biasaaa. Hanya dalam beberapa jam (sekitar 2-3 jam saja); maka admin @manadokota TELAH berhasil menghimpun “kekuatan” dan menggerakkan “kekuatan” tersebut untuk melakukan suatu kegerakan #moral. @stanlysk langsung bertanya-tanya dalam hati; dengan tidak bermaksud menyinggung kelompok religius tertentu … Apakah ada dari antara mereka yang mengaku hamba Tuhan (sebut saja Pdt, penginjil, Gembala, etc) yang saking kuatnya “charisma” mereka, dapat “mengumpulkan”, dapat “menggerakkan”, dapat “melibatkan” ribuan orang untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan #moral? Oooopss, mohon maaf; karena tulisan ini hanya sekedar memberi contoh-belaka, dan SUDAH PASTI tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak-pihak tertentu. @stanleydavid hanya mencoba untuk “menggambarkan” betapa kuatnya “pengaruh” dari seorang admin @manadokota; hanya dengan “satu kali” berkicau melalui akun Twitter-nya.

Dan rupa-rupanya, karena “peristiwa” seperti diataslah (dan banyak “peristiwa” lain yang sejenis) yang membuat @brendachuy (sekarang sudah berganti nama akun menjadi @brendot) dari Pacific TV melihat ini sebagai suatu “fenomena” yang perlu diangkat oleh media televisi. O iya, akun @brendachuy ini dimiliki oleh seorang pekarya di studi Pacific (selengkapnya tentang @brendachuy, tentu saja dapat diketahui dengan meng-follow akun @brendachuy; karena saya lihat, akun @brendachuy juga “sangat aktif” time-line twitternya). Singkat cerita, @brendachuy mengundang admin @manadokota untuk “datang” ke Paficic TV, sambil berpesan bahwa admin @manadokota harus membawa sedikit diantara para “followers” komunitas @manadokota.

Akhirnya, di hari kamis, 27 Januari 2011, pukul 13.00; kami semua dapat kop-dar (baca: kopi darat, berarti pertemuan di dunia nyata atau tatap-muka diantara para pegiat dunia-maya). Bung Admin @manadokota mengajak para followers @manadokota dari berbagai “kalangan” (sekali lagi, ini merupakan “kejelian” dari Bung Admin @manadokota yang pantas diacungi jempol). Ada @stanlysk (yang “dianggap” mewakili kalangan akademisi, praktisi dan professional TI), @brendachuy (dari Pacific TV), @glenglenry (mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Sam Ratulangi, pengguna Twitter), @achawatania (mahasiswa Fakultas Kedokteran - Universitas Sam Ratulangi, pengguna Twitter juga adalah Noni Manado 2010), @trivenaa (siswa, pengguna Twitter, bermukim di Tondano), @victorrahmadian (PNS Kota Manado, pengguna Twitter), @adamjo (mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi - Universitas Sam Ratulangi, pengguna Twitter); kami semua dipimpin oleh bung admin @manadokota sendiri, yakni @piet_pusung tentunya ... *wink*wink.

Sebelum “tapping” (istilah para kru-TV untuk mengambil rekaman video) dimulai, kami kemudian melakukan pembicaraan “serius” mengenai beberapa tips praktis dalam mendaya-gunakan Twitter. Tidak banyak yang bisa di-sharing disini mengenai aktivitas kami selama “tapping” untuk Amoy SHOW selengkapnya bisa dilihat sendiri di Acara Amoy SHOW, setiap Hari Rabu, pukul 8 malam di Paficic TV Manado. Sepertinya acara kop-dar kami para anggota komunitas @manadokota hanya punya menu pembuka, menu utama dan menu penutup yang sama dari awal hingga akhir, yakni menu makanan #ngakak, #ROTFL, #LOL.

Pertemuan ini diakhiri dengan kop-dar lanjut di Pizza Hut – Manado TownSquare. Setelah bincang-bincang dalam suasana penuh keakraban, kami semua setuju untuk membawa komunitas @manadokota untuk melangkah lebih jauh dengan melakukan kegiatan bakti sosial, pelatihan, dan lain-lain sebagainya.

@stanlysk sangat terkesan dengan fenomena seperti ini. Jika dipikirkan lebih jauh, fenomena “socially-engaged” (keterlibatan-sosial) mulai marak terjadi di dunia-maya, seiring munculnya media-media yang memungkinkan terjadinya “keterlibatan-sosial” seperti ini. Sebut saja, Friendster, MySpace, Facebook dan yang terakhir muncul adalah Twitter. Semua media-sosial yang disebutkan tadi, bisa dilahirkan di dunia-nyata karena “dikandungi” oleh teknologi Web 2.0 (pahamilah Web 2.0 sebagai “kelanjutan” dari Web 1.0). Jika kita ingin memahami apa itu Web 2.0 maka kita harus melihat definisi dari O’Reilley (lihat disini: http://oreilly.com/ ) sebagai Sang Pencetus Web 2.0 pertama kalinya. Secara praktis, kita  bisa memahami bahwa dalam Web 2.0, kita – sebagai pengguna – bukan hanya sekedar “membaca” informasi yang ada, namun juga dapat turut “menulis” dan/atau “menulis-ulang” informasi yang kit abaca tersebut. Ditambah dengan kehadiran teknologi mobile-internet, maka kegiatan “membaca’, “menulis” ataupun “menulis-ulang” ini dapat dilakukan dengan menggunakan “SmartPhone”, “BB”, “iPhone”.

Tak dapat dipungkiri, ini merupakan “fenomena” sosial yang semakin nyata dirasakan akibat-akibatnya. Untuk itu, para “pegiat” social-media seperti @stanlysk, @manadokota, dll harus memiliki suatu paradigma dan perilaku yang “baru”. Intinya adalah melakukan PERUBAHAN. Dan “perubahan” ini harus terjadi dalam tataran “paradigma” atau “cara memandang”, “cara berpikir” kita dalam ber-socially-engaged.

Mari kita lihat ulasan dari Soren Gordhamer (@SorenG) mengenai beberapa aspek perubahan “social-engaged”:
1) Paradigma Lama: “Force people to do what you want”; Paradigma Baru: “Give people what you want them to offer”.
Pelaku socially-engaged dalam dunia-digital harus memiliki paradigm “memberikan kepada orang lain apa yang kau inginkan mereka berikan”. Atau dalam paraphrase lain, “memberi” terlebih dahulu untuk kemudian “menerima”, apa yang ingin kita terima. Singkatnya, “memberi” sebelum “menerima”. (menurut pendapat @stanlysk).
Perubahan paradigm ini benar-benar revolusioner. Meskipun jika kita mencoba untuk memaknai lebih mendalam, hal ini bukanlah “baru” hasil temuan manusia abad informasi-digital. Para filsul Yunani dan China sudah pernah merumuskan perubahan paradigma ini dalam “bahasa” filosofis yang sedikit berbeda, namun memiliki makna yang sama.

2) Paradigma Lama: “Just put your body in the room”; Paradigma Baru: “Show up with a crative, open mindset”.
Keterlibatan-sosial dalam era informasi digital harus mengubah gaya berpikir secara fundamental. Jika sebelumnya, pergaulan komunitas kita telah terbiasa untuk berkomunikasi dengan bahasa-rata (maksudnya biasa-biasa saja); sekarang ini , kita harus berkomunikasi dengan memberikan “makna” baru yang kreatif, dengan pikiran yang terbuka.
Perubaha paradigma seperti ini, cukup sulit dilakukan. Apalagi, kita telah terbiasa dididik dan hidup dalam lingkungan yang bergaya “kolonialis”. Kita telah dikondisikan bertahun-tahun untuk menjadi masyarakat “YES” (baca: diam dan patuh saja), masyarakat “ABS” (baca: Asal Bapak Senang) dan masyarakat “APA JO NGANA SUKAAAAA” (baca: pasrah, cuek dan apatis).
Memasuki era informasi-digital dengan media facebook. Twitter, dsb untuk berkomunikasi, maka perubahan “socially-engaged” harus terjadi. Hal ini tidak bisa terhindarkan.

3) Paradigma Lama: “Work to get a paycheck”; Paradigma Baru: “Make your work about something bigger”.
Paradigma ini sebenarnya dapat ditulis dengan satu kata saja: “antusias”. Jika di waktu-waktu sebelumnya kita bekerja dan berkarya hanya untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang materialis-konsumtif, maka di era informasi digital sekarang ini, ‘socially-engaged’ kita haruslah “antusias” untuk bekerja dan berkarya dengan tujuan yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih bermakna.

Mengikuti kesimpulan dari penulis diatas maka dalam paradigma lama, socially-engaged menekankan pada individualistic dan berfokus pada penonjolan pribadi, maka dalam paradigma baru, yang harus terjadi adalah bukan saja menekankan kemampuan pribadi, namun juga kemampuan “bekerja-bersama”. Tentu saja, kita tidak bisa sekedar mengabaikan seorang pribadi dengan kemampuan “super”. Namun alangkah baiknya jika kita, “bekerja-bersama” dengan banyak “pribadi super”. Dengan paradigm seperti ini, kita dapat “memaksa” terjadinya berbagai inovasi dan proses kreatif.

Amoy SHOW telah berhasil memprovokasi “socially-engaged” yang baru ini; dengan menghadirkan topic bahasan komunitas @manadokota yang sangat modern dalam ber-“socially-engaged”. Provokasi ini harus diikuti oleh semua komunitas lainnya dan terus dihidupkan dalam setiap lapisan masyarakat kota. @stanlysk sangat menghargai upaya dari Pacific TV (dalam hal ini @brendachuy). Usaha ini perlu didukung terus. Langkah awal yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan membuatkan akun twitter buat Amoy [#ngakak, #ROTFL, #LOL); agar supaya sang amoy-muka-longsor (julukan @glenglenry buat amoy-pacific .. wkwkwkwkw) bisa ber-socially-engagged dengan lebih modern.

Apalagi kota ini, provinsi ini, bangsa ini, eh salah, dunia ini membutuhkan hiburan #ngakak kreatif dari Amoy Pacific, misalnya:
Amoy: hai cewek ... dari mana do?
@trivenaa: dari Tondano ...
Amoy: oh. ngana yang da bawa tu oto HARTOP Kuning?
@trivenaa: iyo ... kita datang deng oto HARTOP Kuning?
Amoy: oh, karja di tambang dang ngana?
@trivenaa: [bengong mode ON] #ngakak #ROTFL #LOL
(diikuti oleh @manadokota, @piet_pusung, @stanlysk, @brendachuy, @glenglenry, @adamjoo, @victorahmadian dan @achawatania) 
 [cat: cerita ini telah direkonstruksi-kembali oleh @stanlysk, kejadian sebenarnya jauh lebih lucu ... wkwkkwkw]

@stanlysk sangat menantikan hadirnya Indonesia yang penuh dengan sekumpulan “manusia-super” yang giat berinovasi dan berkreatif, mendorong pertumbuhan masyarakat, menuju kesejahteraan bangsa, mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia … menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Di hari ulang tahunnya yang ke-2, 25 Maret 2012, maka akun @manadokota semakin eksis dalam memberikan informasi terkini tentang manado. Akun ini sudah memiliki halaman website tersendiri. Website tersebut diberi nama www.manadokota.com; klik disini.

Perkembangan yang luar biasa dari akun @manadokota menunjukkan mulai munculnya masyarakat - digital di Kota Manado. Meskipun baru pada tahap awal, namun generasi C (menurut istilah dari Prof DR. Rhenald Kasali) sudah mulai muncul di Kota Manado.

Kita berharap, akun @manadokota dan www.manadokota.com akan semakin memberikan kontribusi positif dalam pengembangan Kota Manado. Penataan konten, manajemen user dan aspek security, adalah beberapa masalah krusial yang harus dibenahi oleh para admin @manadokota. Keterlibatan dengan para akademi dan peneliti Teknologi Informasi dari kalangan universitas juga perlu dipertajam!

Semua ini diperlukan untuk mewujudkan keunggulan kompetitif bagi Kota Manado khususnya dan Provinsi Sulawesi Utara pada umumnya!

Merdeka ....

Kamis, 29 Maret 2012

mo ba kuliah ato bakulia?


TIPS Praktis untuk menjadi Mahasiswa yang Belajar Efektif.

Satu pertanyaan penting yang terus terngiang dalam telinga dan pikiran mahasiswa (termasuk saya sebagai dosen) adalah “Mengapa saya harus kuliah? Apa sebenarnya yang kita lakukan dalam “kuliah”? Orang Manado sering menggunakan istilah “mo ba kuliah”. Jika kita merubah sedikit langgam bicara dari “mo ba kuliah” maka kita akan mendapat dua pengertian, yakni “mo ba kuliah” atau “mo bakulia”. Tulisan saya ini berupaya untuk mengelaborasi ide “mo ba kuliah” sebagai suatu pengalaman proses-belajar yang menarik. Sehingga diharapkan, para mahasiswa dapat menikmati proses belajar yang dilakukan dalam ruang-ruang kuliah. Pada akhirnya, kehadiran mahasiswa dalam ruang kelas, adalah benar-benar untuk “mo ba kuliah” bukan sekedar “mo bakuliah”.

Menilik sejarah, maka kita akan menemukan bahwa tradisi perkuliahan sebenarnya berawal pada tradisi di era skolastik. Tradisi di masa skolastik ini ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan tinggi dalam bentuk seminari-seminari atau universitas-universitas; yang mulai melakukan “perkuliahan”. Tradisi era skolastik yang telah bertahan ribuan tahun, masih mumpuni hingga era informasi digital seperti sekarang ini. Inti dari tradisi skolastik tersebut sebenarnya menekankan pada “learning – process”. Universitas, sekolah tinggi, lembaga pendidikan sebenarnya merupakan warisan tradisi skolastik yang menjual “learning – process”. Iya, kita tidak bisa memungkiri bahwa universitas, sekolah tinggi atau lembaga pendidikan apapun namanya sebenarnya adalah pelaku bisnis; bisnis dalam pemahaman jual-beli ini adalah bisnis “learning – process”.

Bagaimana meningkatkan keefektifan “learning – process” ini? Kendra Cherry dari psychology about dot com memberikan beberapa TIPS berikut:
1. Meningkatkan kemampuan daya ingat
Untuk meningkatkan daya ingat sebenarnya seorang mahasiswa hanya perlu meningkatkan FOKUS pada apa yang sedang dipelajari. Kebiasaan untuk FOKUS pada apa yang sedang dipelajari sebenarnya merupakan kunci utama untuk meningkatkan daya ingat. Kesulitan dalam mengingat sebenarnya lebih disebabkan dari subyek pelajar yang memang tidak “mau” atau tidak “mampu” memfokuskan pikirannya pada apa yang sedang dipelajari.

2. Terus menerus belajar dan melatih “hal baru”.
Salah satu cara yang pasti untuk menjadi seorang pembelajar yang efektif adalah “dengan terus belajar”. Suatu artikel di Majalah Nature di tahun 2004 melaporkan bahwa setiap orang yang terus belajar hal –hal baru (seperti contohnya dalam bermain sulap), akan meningkatkan jumlah “gray matter” dalam bagian otak yang disebut “occipital lobes”; yakni daerah otak yang berhubungan dengan memori visual [lihat referensi 1]. Di saat pembelajar ini berhenti melatih “hal baru”, maka “gray matter” ini akan hilang perlahan-lahan.
Pembelajar harus membiasakan diri dengan “hal baru”. Sederhananya, saat kita berangkat ke kampus; kita dapat “melatih” otak kita, dengan memilih jalur berjalan yang di luar dari biasanya. Teknik yang lain misalnya dengan  belajar bahasa-gaul yang baru. Singkatnya content yang dipelajari dan teknik pembelajaran itu harus “baru”. Setelah dipelajari, teruslah dilatih secara teratur.
Prinsip “use-it-OR-lose-it” benar-benar akan meningkatkan kemampuan seorang pembelajar untuk makin efektif. Prinsip “use-it-OR-lose-it” ini sebenarnya terkait dengan proses-berpikir yang disebut “pruning”. Yakni, dijalinnyapathway – pathway baru sementara pathway yang lama di-eliminir. Singkatnya, jika kita ingin mengetahui (atau mengingat, atau memahami) “hal baru” seperti informasi baru maka kita harus belajar untuk “to stay put”, “to keep practicing” dan “rehearsing it”.
Sun Tzu pernah mengatakan ….
If officers are not thoroughly drilled, they will be anxious and confused in battle; if generals are not competentlytrained, they will suffer mental anguish when they face the enemy. [Sun Tzu, The Art of War]
Sungguh mengherankan, bahwa “hikmat” seperti ini sebenarnya sudah ditemukan dan dipahami oleh Sun Tzu, jauh sebelum perkembangan ilmu neuro-sains dimulai.

3. Belajar dengan menggunakan “multiple – ways”.
Yang dimaksudkan dengan belajar dengan “multiple-ways” adalah belajar dengan menggunakan semua “indera” yang dimiliki. Memanfaatkan iPod misalnya untuk mengoptimalkan proses belajar secara “auditory”. Atau menggunakan MP4, Smart-Phone ataupun BB untuk mengoptimalkan proses belajar secara “auditory – visually”. Tidak hanya “mendengar” tapi juga “mendengar – melihat”. Penggunaan LCD Projector dalam ruang kelas, sebenarnya dimaksudkan untuk mempertajam cara belajar “mendengar – melihat”.
Belajar dengan menggunakan “multiple-ways” juga termasuk dengan belajar dalam kelompok, berdiskusi dengan teman, mendengar penjelasan dosen sambil mencatat ataupun mencoba memvisualikan apa yang diterangkan dosen dengan menggambar sebuah “mind map”.
Dengan belajar dengan “multiple-ways” maka kita akan mempererat knowledge yang diperoleh. Menurut peneliti Judy Willis: “semakin banyak bagian otak yang menyimpan data/informasi tentang suatu subjek, maka akan terjadi semakin banyak interkoneksi dalam otak. Pengulangan-pengulangan seperti ini akan memungkinkan pembelajar untuk dapat “menarik kembali” setiap “bit-bit” data/informasi yang telah tersimpan dalam beberapa bagian otak tersebut, dengan cukup dipicu oleh satu petunjuk saja. Aktivitas “cross-referencing” data/informasi yang tersimpan dalam otak ini menunjukkan bahwa kita telah “belajar”, bukan hanya sekedar “mengingat”. [lihat referensi 2].

4. Ajarkan yang telah dipelajari kepada orang lain.
Para pendidik telah lama mengetahui bahwa salah satu cara terbaik menjadi seorang pembelajar yang efektif adalah dengan “mengajar” kepada orang lain. Disinilah kegunaan dari melakukan presentasi tugas baik secara pribadi maupun kelompok. Dengan melakukan presentasi tugas baik secara pribadi maupun kelompok, sebenarnya kita telah “memaksa” diri kita untuk mengajarkan apa yang kita ketahui kepada orang lain (pihak yang mendengarkan presentasi).
Melakukan presentasi tidaklah sukar. Mulailah dengan mengartikan data/informasi yang akan disampaikan dalam “bahasa” yang dipahami sendiri. Carilah “pengertian-sendiri” tentang idea tau gagasan yang akan disampaikan kepada pendengar. Jangan membiasakan diri dengan menjadi “burung beo”; yakni hanya mengutip mentah-mentah apa yang dibaca dalam buku teks.
Setelah proses ini dilakukan, maka presentasikanlah apa yang anda telah pelajari. Presentasi dalam hal ini dipahami sebagai mengkomunikasikan apa yang telah dipelajari. Dan bicara soal “berkomunikasi”; maka di era informasi-digital sekarang ini, terdapat banyak sekali “sarana” untuk berkomunikasi. Kita bisa men-twit, mengupdate status facebook, memulai topic diskusi dan/atau memberi komentar-komentar dalam forum, menulis note di facenook (seperti yang saya lakukan), menulis blog ataupun menggambar “map mapping”. Inilah keuntungan yang disediakan Teknologi Informasi sekarang ini adalah penyediaan sarana untuk berkomunikasi secara 24 jam 7 hari terus-menerus tanpa henti, dengan menggunakan berbagai macam alat.

5. Gunakan pengetahuan yang lama untuk mendapatkan pengetahuan yang baru.
Cara lain untuk menjadi seorang pembelajar efektif adalan dengan memanfaatkan teknik “relational-learning”. Maksudnya adalah menghubung-hubungkan berbagai pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. Misalkan saat kita sedang membaca Romeo and Juliet, maka kita meng-asosiasi-kan apa yang sementara kita baca dengan tokohShakespeare, sejarah yang melatarbelakangi peristiwa tersebut, kota tempat setting cerita, dan lain-lain sebagainya.
Biasanya di kelas saya di awal perkuliahan, saya memberikan tugas kepada mahasiswa untuk mendengarkan lagu tertentu dan kemudian saya menyuruh mahasiswa untuk mencari ‘asosiasi’ yang ada pada teks lagu tersebut dengan matari perkuliahan yang telah dan akan dipelajari. Bahkan di semester ini, saya menyuruh mahasiswa untuk me-review sebuah film yang sedang “HOT”. Kebetulan, film tersebut banyak “menunjukkan” konsep-konsep dari dunia programming. Ini sebenarnya adalah upaya saya, untuk “mendesak” mahasiswa agar belajar dengan teknik yang berbeda dari biasanya.

6. Dapatkan pengalaman praktek.
Tentu saja, teknik ini sangat penting dalam meningkatkan kemampuan belajar secara efektif. Belajar yang baik tidak saja membaca buku teks, mendengarkan kuliah, atau melakukan studi literature di perpustakaan maupun bertanya-tanya pada “Om Google” dan “Tante Yahoo” (maksudnya melakukan “browsing” di internet). Belajar yang efektif adalah secara nyata mempraktekkan setiap teori yang telah dipahami dalam praktek. Saya menyebutnya “real-case scenario”.
Berkaitan dengan teknik ini, peran seorang dosen adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya agar para mahasiswa bisa melakukan “penemuan” dan “kreasi”. Membatasi krativitas mahasiswa dengan metode yang sama dan paten, cenderung akan mematikan semangat belajar mahasiswa itu sendiri. Tentu saja, perlu diberikan rambu-rambu peringatan. Namun dalam konteks pendidikan tinggi, saya berpandangan, bahwa lebih baik seorang dosen memposisikan diri sebagai “tut wuri handayani, ing madya wangun karso dan ing ngarso sung tulodo” (ehm, semoga saya tidak salah menulisnya, maklumlah, saya asli “orang Minahasa”, yang mencoba bergaya-gaya sebagai “orang Jawa”).

7. Usahakan untuk mendapatkan jawaban yang tepat bukan “bergumul” untuk mengingat jawaban yang dihafal.
Kita harus memahami bahwa proses-belajar itu bukanlah proses yang sempurna. Kadang, kita akan “melupakan” detail-detail yang telah kita pelajari. Hal ini tidak usah dirisaukan. Berusahalah untuk mencari jawaban tepat dari permasalahan yang dihadapi, jangan terlalu keras untuk mengingat detail yang telah dipelajari.
Sebuah studi menunjukkan bahwa semakin lama kita berusaha untuk mengingat suatu “jawaban” yang telah dihafal, maka akan semakin sulit kita mengingat “jawaban” yang sama tersebut di masa mendatang. Mengapa? Mudah saja jawabannya, karena saat kita berusaha mengingat jawaban yang telah kita hafal sebelumnya, otak kita malah mengalami “eror state”, bukan “correct-response”.[lihat referensi 5]
Para mahasiswa HARUS dapat mempraktekkan hal ini dalam menghadapi Kuis, Ujian Tengah Semester ataupun Ujian Akhir Semester. Dengan berbekal pengetahun ini, saya yakin, semua tes yang dihadapi akan terasa lebih enteng dan jauh dari tekanan rasa kuatir yang berlebihan.

8. Mengerti dan Memahami cara belajar yang paling baik untuk kita lakukan.
Iya, harus diakui, setiap manusia adalah makhluk yang unik. Keunikan inilah yang memperkaya kualitas peradaban manusia sepanjang zaman bumi ini ada. Ini berarti, masing-masing kita, bertanggung jawab untuk menemukan teknik belajar seperti apa yang kita paling “senangi”; dan yang paling memberikan hasil efektif untuk kita.
Teori Gardner [lihat referensi 6] tentang “multiple-intelligence” menjelaskan delapan tipe intelligence yang dapat “mengungkapkan” kekuatan belajar seseorang. Kita juga dapat melihat pemetaan dari Carl Jung [lihat referensi 7] tentang “learning style dimensions” untuk mengetahui strategi belajar efektif yang paling “sesuai” untuk kita lakukan.

9. Membiasakan diri dengan mengikuti test secara periodic
Mungkin kelihatan seperti “membuang waktu” apabila harus selalu mengikuti atau mengerjakan test. Namun hasil studi menunjukkan bahwa “taking tests” akan membuat kita lebih mudah mengingat apa yang telah dipelajari sebelumnya [lihat referensi 3]. Hasil studi juga menunjukkan bahwa pelajar yang telah belajar dan kemudian mengikuti test akan memiliki kemampuan lebih di waku-waktu mendatang (atau long-term effect) untuk mengingat materi yang telah dipelajari. Sebaliknya untuk mahasiwa yang telah belajar namun tidak mengikuti test akan lebih kurang memiliki long-term effect.

10. Berhenti melakukan MULTITASKING saat belajar.
Kepercayaan umum yang dipegang saat ini adalah, bila seseorang mampu melakukan multitasking atau melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan, memiliki kemampuan yang lebih efektif dari yang lainnya. Hasil studi membantah “kepercayaan” ini.[lihat referensi 4]. Hasil studi yang lebih up-to-date menunjukkan bahwa pelajar akan kehilangan waktu yang lebih lama saat terjadi pergantian-tugas dalam proses multitasking. Bahkan saat, pekerjaan-pekerjan yang dilakukan secara multitaskin semakin “rumit” maka waktu pergantian-tugas tersebut akan semakin banyak terbuang.
Dengan belajar beberapa topic yang berbeda secara bersamaan, maka kita akan semakin tidak efektif dan akan berbuat lebih banyak kesalahan.
Bagaimana caranya menghindari masalah multitasking? Mulailah dengan belajar memfokuskan perhatian kita pada satu tugas dan belajar mengatur jadual yang baik untuk melakukan tugas yang berbeda di waktu-waktu kemudian.

Referensi
1. Draganski, B., Gaser, C., Busch, V., & Schuierer, G. (2004). Neuroplasticity: Changes in grey matter induced by training. Nature, 427(22), 311-312.
2. Willis, J. (2008). Brain-based teaching strategies for improving student’s memory, learning, and test-taking success. (review of research0. Childhood Education, 83(5), 31-316.
3. Chan, J.C., McDermott, K.B., & Roediger, H.L (2007). Retrieval-induced facilitation. Journal of Experimental Psychology: General, 135(4), 553-571.
4. Rubinstein, Joshua S., Meyer, David E., Evans, Jeffrey E. Journal of Experimental Psychology: Human Perception and Performance, 27(4), 763-797.
5. http://psychology.about.com/b/2008/06/11/tip-of-the-tongue-research.htm
6. http://psychology.about.com/od/educationalpsychology/ss/multiple-intell.htm
7. http://psychology.about.com/od/educationalpsychology/ss/jung-styles.htm

Untuk melihat tulisan asli dari bahasan ini, silahkan kunjungi: