Kamis, 29 Maret 2012

mo ba kuliah ato bakulia?


TIPS Praktis untuk menjadi Mahasiswa yang Belajar Efektif.

Satu pertanyaan penting yang terus terngiang dalam telinga dan pikiran mahasiswa (termasuk saya sebagai dosen) adalah “Mengapa saya harus kuliah? Apa sebenarnya yang kita lakukan dalam “kuliah”? Orang Manado sering menggunakan istilah “mo ba kuliah”. Jika kita merubah sedikit langgam bicara dari “mo ba kuliah” maka kita akan mendapat dua pengertian, yakni “mo ba kuliah” atau “mo bakulia”. Tulisan saya ini berupaya untuk mengelaborasi ide “mo ba kuliah” sebagai suatu pengalaman proses-belajar yang menarik. Sehingga diharapkan, para mahasiswa dapat menikmati proses belajar yang dilakukan dalam ruang-ruang kuliah. Pada akhirnya, kehadiran mahasiswa dalam ruang kelas, adalah benar-benar untuk “mo ba kuliah” bukan sekedar “mo bakuliah”.

Menilik sejarah, maka kita akan menemukan bahwa tradisi perkuliahan sebenarnya berawal pada tradisi di era skolastik. Tradisi di masa skolastik ini ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan tinggi dalam bentuk seminari-seminari atau universitas-universitas; yang mulai melakukan “perkuliahan”. Tradisi era skolastik yang telah bertahan ribuan tahun, masih mumpuni hingga era informasi digital seperti sekarang ini. Inti dari tradisi skolastik tersebut sebenarnya menekankan pada “learning – process”. Universitas, sekolah tinggi, lembaga pendidikan sebenarnya merupakan warisan tradisi skolastik yang menjual “learning – process”. Iya, kita tidak bisa memungkiri bahwa universitas, sekolah tinggi atau lembaga pendidikan apapun namanya sebenarnya adalah pelaku bisnis; bisnis dalam pemahaman jual-beli ini adalah bisnis “learning – process”.

Bagaimana meningkatkan keefektifan “learning – process” ini? Kendra Cherry dari psychology about dot com memberikan beberapa TIPS berikut:
1. Meningkatkan kemampuan daya ingat
Untuk meningkatkan daya ingat sebenarnya seorang mahasiswa hanya perlu meningkatkan FOKUS pada apa yang sedang dipelajari. Kebiasaan untuk FOKUS pada apa yang sedang dipelajari sebenarnya merupakan kunci utama untuk meningkatkan daya ingat. Kesulitan dalam mengingat sebenarnya lebih disebabkan dari subyek pelajar yang memang tidak “mau” atau tidak “mampu” memfokuskan pikirannya pada apa yang sedang dipelajari.

2. Terus menerus belajar dan melatih “hal baru”.
Salah satu cara yang pasti untuk menjadi seorang pembelajar yang efektif adalah “dengan terus belajar”. Suatu artikel di Majalah Nature di tahun 2004 melaporkan bahwa setiap orang yang terus belajar hal –hal baru (seperti contohnya dalam bermain sulap), akan meningkatkan jumlah “gray matter” dalam bagian otak yang disebut “occipital lobes”; yakni daerah otak yang berhubungan dengan memori visual [lihat referensi 1]. Di saat pembelajar ini berhenti melatih “hal baru”, maka “gray matter” ini akan hilang perlahan-lahan.
Pembelajar harus membiasakan diri dengan “hal baru”. Sederhananya, saat kita berangkat ke kampus; kita dapat “melatih” otak kita, dengan memilih jalur berjalan yang di luar dari biasanya. Teknik yang lain misalnya dengan  belajar bahasa-gaul yang baru. Singkatnya content yang dipelajari dan teknik pembelajaran itu harus “baru”. Setelah dipelajari, teruslah dilatih secara teratur.
Prinsip “use-it-OR-lose-it” benar-benar akan meningkatkan kemampuan seorang pembelajar untuk makin efektif. Prinsip “use-it-OR-lose-it” ini sebenarnya terkait dengan proses-berpikir yang disebut “pruning”. Yakni, dijalinnyapathway – pathway baru sementara pathway yang lama di-eliminir. Singkatnya, jika kita ingin mengetahui (atau mengingat, atau memahami) “hal baru” seperti informasi baru maka kita harus belajar untuk “to stay put”, “to keep practicing” dan “rehearsing it”.
Sun Tzu pernah mengatakan ….
If officers are not thoroughly drilled, they will be anxious and confused in battle; if generals are not competentlytrained, they will suffer mental anguish when they face the enemy. [Sun Tzu, The Art of War]
Sungguh mengherankan, bahwa “hikmat” seperti ini sebenarnya sudah ditemukan dan dipahami oleh Sun Tzu, jauh sebelum perkembangan ilmu neuro-sains dimulai.

3. Belajar dengan menggunakan “multiple – ways”.
Yang dimaksudkan dengan belajar dengan “multiple-ways” adalah belajar dengan menggunakan semua “indera” yang dimiliki. Memanfaatkan iPod misalnya untuk mengoptimalkan proses belajar secara “auditory”. Atau menggunakan MP4, Smart-Phone ataupun BB untuk mengoptimalkan proses belajar secara “auditory – visually”. Tidak hanya “mendengar” tapi juga “mendengar – melihat”. Penggunaan LCD Projector dalam ruang kelas, sebenarnya dimaksudkan untuk mempertajam cara belajar “mendengar – melihat”.
Belajar dengan menggunakan “multiple-ways” juga termasuk dengan belajar dalam kelompok, berdiskusi dengan teman, mendengar penjelasan dosen sambil mencatat ataupun mencoba memvisualikan apa yang diterangkan dosen dengan menggambar sebuah “mind map”.
Dengan belajar dengan “multiple-ways” maka kita akan mempererat knowledge yang diperoleh. Menurut peneliti Judy Willis: “semakin banyak bagian otak yang menyimpan data/informasi tentang suatu subjek, maka akan terjadi semakin banyak interkoneksi dalam otak. Pengulangan-pengulangan seperti ini akan memungkinkan pembelajar untuk dapat “menarik kembali” setiap “bit-bit” data/informasi yang telah tersimpan dalam beberapa bagian otak tersebut, dengan cukup dipicu oleh satu petunjuk saja. Aktivitas “cross-referencing” data/informasi yang tersimpan dalam otak ini menunjukkan bahwa kita telah “belajar”, bukan hanya sekedar “mengingat”. [lihat referensi 2].

4. Ajarkan yang telah dipelajari kepada orang lain.
Para pendidik telah lama mengetahui bahwa salah satu cara terbaik menjadi seorang pembelajar yang efektif adalah dengan “mengajar” kepada orang lain. Disinilah kegunaan dari melakukan presentasi tugas baik secara pribadi maupun kelompok. Dengan melakukan presentasi tugas baik secara pribadi maupun kelompok, sebenarnya kita telah “memaksa” diri kita untuk mengajarkan apa yang kita ketahui kepada orang lain (pihak yang mendengarkan presentasi).
Melakukan presentasi tidaklah sukar. Mulailah dengan mengartikan data/informasi yang akan disampaikan dalam “bahasa” yang dipahami sendiri. Carilah “pengertian-sendiri” tentang idea tau gagasan yang akan disampaikan kepada pendengar. Jangan membiasakan diri dengan menjadi “burung beo”; yakni hanya mengutip mentah-mentah apa yang dibaca dalam buku teks.
Setelah proses ini dilakukan, maka presentasikanlah apa yang anda telah pelajari. Presentasi dalam hal ini dipahami sebagai mengkomunikasikan apa yang telah dipelajari. Dan bicara soal “berkomunikasi”; maka di era informasi-digital sekarang ini, terdapat banyak sekali “sarana” untuk berkomunikasi. Kita bisa men-twit, mengupdate status facebook, memulai topic diskusi dan/atau memberi komentar-komentar dalam forum, menulis note di facenook (seperti yang saya lakukan), menulis blog ataupun menggambar “map mapping”. Inilah keuntungan yang disediakan Teknologi Informasi sekarang ini adalah penyediaan sarana untuk berkomunikasi secara 24 jam 7 hari terus-menerus tanpa henti, dengan menggunakan berbagai macam alat.

5. Gunakan pengetahuan yang lama untuk mendapatkan pengetahuan yang baru.
Cara lain untuk menjadi seorang pembelajar efektif adalan dengan memanfaatkan teknik “relational-learning”. Maksudnya adalah menghubung-hubungkan berbagai pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. Misalkan saat kita sedang membaca Romeo and Juliet, maka kita meng-asosiasi-kan apa yang sementara kita baca dengan tokohShakespeare, sejarah yang melatarbelakangi peristiwa tersebut, kota tempat setting cerita, dan lain-lain sebagainya.
Biasanya di kelas saya di awal perkuliahan, saya memberikan tugas kepada mahasiswa untuk mendengarkan lagu tertentu dan kemudian saya menyuruh mahasiswa untuk mencari ‘asosiasi’ yang ada pada teks lagu tersebut dengan matari perkuliahan yang telah dan akan dipelajari. Bahkan di semester ini, saya menyuruh mahasiswa untuk me-review sebuah film yang sedang “HOT”. Kebetulan, film tersebut banyak “menunjukkan” konsep-konsep dari dunia programming. Ini sebenarnya adalah upaya saya, untuk “mendesak” mahasiswa agar belajar dengan teknik yang berbeda dari biasanya.

6. Dapatkan pengalaman praktek.
Tentu saja, teknik ini sangat penting dalam meningkatkan kemampuan belajar secara efektif. Belajar yang baik tidak saja membaca buku teks, mendengarkan kuliah, atau melakukan studi literature di perpustakaan maupun bertanya-tanya pada “Om Google” dan “Tante Yahoo” (maksudnya melakukan “browsing” di internet). Belajar yang efektif adalah secara nyata mempraktekkan setiap teori yang telah dipahami dalam praktek. Saya menyebutnya “real-case scenario”.
Berkaitan dengan teknik ini, peran seorang dosen adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya agar para mahasiswa bisa melakukan “penemuan” dan “kreasi”. Membatasi krativitas mahasiswa dengan metode yang sama dan paten, cenderung akan mematikan semangat belajar mahasiswa itu sendiri. Tentu saja, perlu diberikan rambu-rambu peringatan. Namun dalam konteks pendidikan tinggi, saya berpandangan, bahwa lebih baik seorang dosen memposisikan diri sebagai “tut wuri handayani, ing madya wangun karso dan ing ngarso sung tulodo” (ehm, semoga saya tidak salah menulisnya, maklumlah, saya asli “orang Minahasa”, yang mencoba bergaya-gaya sebagai “orang Jawa”).

7. Usahakan untuk mendapatkan jawaban yang tepat bukan “bergumul” untuk mengingat jawaban yang dihafal.
Kita harus memahami bahwa proses-belajar itu bukanlah proses yang sempurna. Kadang, kita akan “melupakan” detail-detail yang telah kita pelajari. Hal ini tidak usah dirisaukan. Berusahalah untuk mencari jawaban tepat dari permasalahan yang dihadapi, jangan terlalu keras untuk mengingat detail yang telah dipelajari.
Sebuah studi menunjukkan bahwa semakin lama kita berusaha untuk mengingat suatu “jawaban” yang telah dihafal, maka akan semakin sulit kita mengingat “jawaban” yang sama tersebut di masa mendatang. Mengapa? Mudah saja jawabannya, karena saat kita berusaha mengingat jawaban yang telah kita hafal sebelumnya, otak kita malah mengalami “eror state”, bukan “correct-response”.[lihat referensi 5]
Para mahasiswa HARUS dapat mempraktekkan hal ini dalam menghadapi Kuis, Ujian Tengah Semester ataupun Ujian Akhir Semester. Dengan berbekal pengetahun ini, saya yakin, semua tes yang dihadapi akan terasa lebih enteng dan jauh dari tekanan rasa kuatir yang berlebihan.

8. Mengerti dan Memahami cara belajar yang paling baik untuk kita lakukan.
Iya, harus diakui, setiap manusia adalah makhluk yang unik. Keunikan inilah yang memperkaya kualitas peradaban manusia sepanjang zaman bumi ini ada. Ini berarti, masing-masing kita, bertanggung jawab untuk menemukan teknik belajar seperti apa yang kita paling “senangi”; dan yang paling memberikan hasil efektif untuk kita.
Teori Gardner [lihat referensi 6] tentang “multiple-intelligence” menjelaskan delapan tipe intelligence yang dapat “mengungkapkan” kekuatan belajar seseorang. Kita juga dapat melihat pemetaan dari Carl Jung [lihat referensi 7] tentang “learning style dimensions” untuk mengetahui strategi belajar efektif yang paling “sesuai” untuk kita lakukan.

9. Membiasakan diri dengan mengikuti test secara periodic
Mungkin kelihatan seperti “membuang waktu” apabila harus selalu mengikuti atau mengerjakan test. Namun hasil studi menunjukkan bahwa “taking tests” akan membuat kita lebih mudah mengingat apa yang telah dipelajari sebelumnya [lihat referensi 3]. Hasil studi juga menunjukkan bahwa pelajar yang telah belajar dan kemudian mengikuti test akan memiliki kemampuan lebih di waku-waktu mendatang (atau long-term effect) untuk mengingat materi yang telah dipelajari. Sebaliknya untuk mahasiwa yang telah belajar namun tidak mengikuti test akan lebih kurang memiliki long-term effect.

10. Berhenti melakukan MULTITASKING saat belajar.
Kepercayaan umum yang dipegang saat ini adalah, bila seseorang mampu melakukan multitasking atau melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan, memiliki kemampuan yang lebih efektif dari yang lainnya. Hasil studi membantah “kepercayaan” ini.[lihat referensi 4]. Hasil studi yang lebih up-to-date menunjukkan bahwa pelajar akan kehilangan waktu yang lebih lama saat terjadi pergantian-tugas dalam proses multitasking. Bahkan saat, pekerjaan-pekerjan yang dilakukan secara multitaskin semakin “rumit” maka waktu pergantian-tugas tersebut akan semakin banyak terbuang.
Dengan belajar beberapa topic yang berbeda secara bersamaan, maka kita akan semakin tidak efektif dan akan berbuat lebih banyak kesalahan.
Bagaimana caranya menghindari masalah multitasking? Mulailah dengan belajar memfokuskan perhatian kita pada satu tugas dan belajar mengatur jadual yang baik untuk melakukan tugas yang berbeda di waktu-waktu kemudian.

Referensi
1. Draganski, B., Gaser, C., Busch, V., & Schuierer, G. (2004). Neuroplasticity: Changes in grey matter induced by training. Nature, 427(22), 311-312.
2. Willis, J. (2008). Brain-based teaching strategies for improving student’s memory, learning, and test-taking success. (review of research0. Childhood Education, 83(5), 31-316.
3. Chan, J.C., McDermott, K.B., & Roediger, H.L (2007). Retrieval-induced facilitation. Journal of Experimental Psychology: General, 135(4), 553-571.
4. Rubinstein, Joshua S., Meyer, David E., Evans, Jeffrey E. Journal of Experimental Psychology: Human Perception and Performance, 27(4), 763-797.
5. http://psychology.about.com/b/2008/06/11/tip-of-the-tongue-research.htm
6. http://psychology.about.com/od/educationalpsychology/ss/multiple-intell.htm
7. http://psychology.about.com/od/educationalpsychology/ss/jung-styles.htm

Untuk melihat tulisan asli dari bahasan ini, silahkan kunjungi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar