Tampilkan postingan dengan label Catatan Pinggir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Pinggir. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 April 2012

Manfaat praktis Internet dan Aplikasi browser


Keilmuan Teknologi Informasi biasanya membedakan apa yang dimaksud dengan “browsing”, “searching” dan “surfing”. Surfing diartikan sebagai tindakan berselancar di dunia maya, yakni berpindah (atau melompat) dari satu halaman web ke halaman web lain. Searching diartikan sebagai tindakan mencari di dunia maya, yakni mencari data/informasi dengan menggunakan mesin pencari seperti Google. Sedangkan browsing diartikan sebagai tindakan menelusuri dunia maya, yakni melakukan penelusuran data atau informasi berdasarkan “kategori” tertentu, seperti misalnya dengan menggunakan mesin pencari blekko.

Secara praktis untuk mejelajah internet, anda memerlukan tiga hal:
1) koneksi internet; yang sekarang bisa dilakukan dengan dua cara, yakni melalui wi-fi dan fixed line.
2) memiliki aplikasi browser
3) memiliki aplikasi search engine
Pada tulisan ini, saya ingin menulis tips praktis mengenai aplikasi browser.
Sekarang ini terdapat 4 aplikasi Web Browser yang terkenal dan sering digunakan; yakni Microsoft INTERNET EXPLORER, Modzilla FIREFOX, Google CHROME dan Apple SAFARI. Sedangkan untuk yang mengakses internet via mobile maka yang sering digunakan adalah OPERA.

Pros and Cons Aplikasi Browser
Yang saya bisa tuliskan tentang Aplikasi Web Browser adalah, keempat macam aplikasi ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk menggunakannya secara maksimal, kita harus mengetahui cara men-setting masing-masing aplikasi Web Browser tersebut. Sebagai dosen, saya cenderung untuk menyarankan para mahasiswa saya untuk menggunakan Web Browser CHROME. Alasan saya lebih dikarenakan dari sisi security dan tools add-on yang dimiliki CHROME. Aplikasi Web Browser CHROME merupakan aplikasi yang relative aman digunakan, karena tim pengembang mereka secara rutin mengupdate versinya, menjadi lebih aman. Isu security ini sangat penting dalam dunia internet. CHROME juga memiliki tools add-on yang disebut GoogleTranslate. Apabila kita menginstall tools ini maka CHROME dengan serta merta akan “melakukan proses penterjemahan” bahasa dari setiap halaman web yang kita akses. Menurut hemat saya, kedua fitur ini sangat penting untuk dijadikan pertimbangan dalam menggunakan aplikasi Web Browser.
Jadi, apakah yang terbaik adalah CHROME? Tentu saja tidak.Baik tidaknya suatu aplikasi perangkat lunak (termasuk Web Browser) itu bergantung pada “pengguna”-nya. Pengguna yang harus memilih aplikasi web browser mana yang dia inginkan untuk mengoptimalkan tugas dan pekerjaannya. Internet Explorer misalnya merupakan aplikasi web browser yang sangat beragam fiturnya.Yang saya suka dalam menggunakan Internet Explorer adalah KEMUDAHAN tampilan web browser tersebut.
Aplikasi Web browser SAFARI, saya gunakan apabila saya ingin mengakses internet melaui iPad dan iMAC. Kelebihan aplikasi ini adalah memiliki fitur history yang jelas sehingga kita tidak perlu repot-repot menghafal alamat URL yang kita kunjungi. Karena SAFARI akan selalu menyimpannya dalam history. Kita hanya perlu mengingat kapan kita terakhir kali mengakses URL tersebut.
Modzilla FIREFOX memiliki keunggulan dalam fitur add-ons. Begitu banyak add ons yang bisa kita install pada firefox, sehingga browser ini bisa sangat membantu tugas dan pekerjaan kita saat berselancar di dunia maya.
Jadi, singkatnya, setiap aplikasi web browser memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.Yang menjadi prinsip praktisnya adalah sebagai pengguna, kitalah yang harus mengoptimalkan aplikasi web browser tersebut. Cara mengoptimalkannya adalah dengan mengubah settingan masing-masing aplikasi web browser tersebut.

BagaimanaMengoptimalkan Web browser
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, dunia mengenal 4 (empat) buah web browser yang paling sering digunakan. Keempat web browser tersebu tadalah: Windows Internet Explorer, Mozilla Firefox, Google Chrome dan Apple Safari. Juga dikenal web browser Opera yang sering digunakan pada smartphone. Semua web browser tersebut diatas menyediakan fasilitas history pencarian. Fitur ini bermanfaat bagi user yang tidak dapat menghafal URL berbagaisitus yang dikunjunginya.Selain itu, fitur ini juga merupakan alat monitor yang baik, untuk memastikan bahwa anak-anak kita tidak melihat situs yang tidak pantas.Berikut adalah cara mengaktifkan fitur histori pencarian keempat web browser tersebut.
1) Windows Internet Explorer: 
Buka Windows Interet Explorer. Klik icon Favorites yang bergambar bintang kuning pada toolbar browser. Klik tab History. Pilih periode tanggal atau waktu yang ingin anda lihat.
2) Mozilla Firefox: 
Buka Mozilla Firefox. Di bagian atas jendela Firefox, klik Firefox, arahkan cursor ke History dan pilih Show All History. Pilih jangka waktu yang ingin anda ingin lihat atau ketikkan kata kunci ke dalam kotak pencarian untuk mencari halaman tertentu.
3) Google Chrome: 
Buka Google Chrome. Klik icon kunci pas pada toolbar browser disebelah kanan address bar. Pilih History. Pilih Periode waktu atau gunakan search history untuk mencari halaman yang ingin dikunjungi lagi.
4) Apple Safari: 
Buka Apple Safari. Klik dan tahan menu History sampai anda melihat situs yang dikunjungi baru-baru ini atau beberapa hari sebelumnya. Arahkan kursor kesalah satu tanggal untuk melihat histori pencarian pada hari itu.

Selamat Mencoba ....


Selasa, 24 April 2012

Pengukuhan Guru Besar, Investasi TIK dan rendahnya produktivitas ...

Sabtu, 21 Maret 2012 merupakan hari yang menggembirakan buat Pak Ucok. Beliau saya kenal akrab sebagai dosen saya di MTI UI (untuk mata kuliah Perencanaan Strategis Sistem Informasi dan Information Systems Research Methodology). Menjadi mahasiswa beliau merupakan suatu pengalaman yang sangat istimewa, karena metode perkuliahan pak Ucok yang sangat informatif. Hari sabtu kemaren, pak Ucok dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Komputer di Fakultas Ilmu Komputer  Universitas Indonesia

Dalam acara tersebut Pak Ucok memberikan sambutan sebagai berikut:
....Tingkat adopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat tinggi, namun pemanfaatannya untuk hal yang produktif masih rendah. Padahal, penggunaan TIK dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 
Hal ini disampaikan Zainal A Hasibuan dalam pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Depok, Sabtu (21/4/2012). 
...."Tingkat penetrasi dan adopsi TIK masyarakat Indonesia relatif tinggi. Tetapi hal ini tidak sejalan dengan manfaat yang diberikan TIK untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia," ujar Zainal ...
.... Berdasarkan data Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI), jumlah pelanggan seluar di Indonesia tahun 2011 mencapai lebih dari 240 juta pelanggan, atau naik 60 juta pelanggan dari tahun 2010. Pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta orang pada tahun 2011. Sebanyak 50-80 persen pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak muda dari kelompok umur 15-30 tahun.
Sayangnya, sebagian besar penduduk Indonesia menggunakan TIK hanya sebagai alat konsumtif, ketimbang alat yang produktif. Demikian juga konten yang tersedia dalam TIK masih berasal dari luar Indonesia ....

Pernyataan Pak Ucok tersebut saya kutip dari Kompas disini. Menurut saya, pendapat beliau benar-benar mencerminkan situasi dan kondisi terkini dari implementasi Teknologi Informasi Komunikasi di Indonesia. Kita tahu bersama, data-data yang dikemukakan seperti ini ...


Kenyataan ini menunjukkan betapa kita, bangsa Indonesia hanya mampu menggunakan TIK dalam tataran rendah, atau entry level. Dalam bahasa keilmuan Teknologi Informasi, tingkat pemanfaatan yang belum matang. Dari sudut pandang Manajemen Investasi Teknologi Informasi, maka "kabar" ini merupakan kabar buruk bagi dunia industri Teknologi Informasi Komunikasi Indonesia. Pernyataan Prof Ucok seharusnya menjadi RED ALERT bagi setiap Pengambil Kebijakan maupun para dosen untuk SEGERA memperhatikan implementasi pemanfaatan TIK. Betapa tidak, hasil penelitian menunjukkan ternyata TIK belum memberikan hasil yang positif dalam peningkatan produktivitas. Dan ini benar2 sangat disayangkan. Dalam keilmuan Investasi Teknologi Informasi, tingkat pemanfaatan TIK dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:




Sehingga jika dikatakan Investasi TIK belum dapat mendorong produktivitas, ini berarti Indonesia masih berada pada level paling bawah dari pemanfaatan TIK, yakni fokus pada efisiensi. Sulit, bagi kita untuk "bersaing" dengan bangsa lain, seperti India misalnya, yang telah mulai berfokus pada INOVASI, menciptakan keunggulan kompetitif dalam Teknologi Informasi Komunikasi. Singkatnya, bangsa kita "telah tertinggal".
Sebagai Peneliti yang mengkhususkan diri dalam IT Valuation/Investment pada organisasi non profit, saya pun menemukan tren yang sama terkait pemanfaatan TIK di Provinsi Sulawesi Utara (lihat hasil riset saya disini). Padahal, nilai investasi TIK yang "dibuang" sudah mencapai angka miliaran rupiah. 
Sebagai pengamat, saya menyimpulkan bahwa memang benar adanya pernyataan dari Prof Ucok tersebut, di tempat tinggal saya: Kota Manado dan tempat saya mengajar Universitas Sam Ratulangi Manado pun fenomena tersebut benar terjadi, yakni pemanfaatan TIK hanya sekedar konsumtif.
Diperlukan strategi khusus, akh, menurut hemat saya, bukan lagi strategi, karena kita telah memiliki banyak strategi, renstra, blue print serta SDM yang mampu melakukannya ... tapi KOMITMEN. Komitmen yang diwujudkan dengan tindakan nyata terkait memajukan TIK Indonesia. Kita semua masih "kurang" memiliki  komitmen untuk memajukan TIK. Semoga ....



Silver bullets dlm software project?

Baru baru ini, saya "menghentikan" sebuah project pengembangan perangkat lunak berbasis Web 2.0. Banyak spektrum pertimbangan yang saya telusuri, dan pada akhirnya saya memutuskan untuk "closing" project tersebut. Dari sekian banyak faktor yang dipertimbangkan, yang menjadi perhatian utamanya adalah: people.

Keilmuan software engineering mengajarkan bahwa keberhasilan suatu proyek perangkat lunak ditentukan oleh 3 (tiga) spektrum utama, yakni: people, process and technology/tools


Dalam keilmuan Manajemen Proyek Teknologi Informasi, ketiga spektrum tadi, harus dioptimalkan untuk memenuhi 3 (tiga) kriteria keberhasilan proyek, yakni:
1) scope goal; yakni menyangkut lingkup pengerjaan proyek, dimana dalam konteks proyek perangkat lunak adalah menyangkut fitur yang akan dikembangkan, atau disebut persyaratan fungsional)
2) cost goal; yakni menyangkut besaran biaya (dan tentu saja manfaat) yang dibutuhkan dalam pengerjaan proyek;
3) time goal; yakni menyangkut alokasi waktu pengerjaan proyek.

Disinilah dibutuhkan kemampuan seorang manager project perangkat lunak, untuk berpikir dan bertindak, dalam konteks mengoptimalkan "trade offs" antara keenam spektrum keberhasilan proyek tersebut diatas.


Saya kembali menyinggung, mengenai "closing" proyek diatas. Dari pengalaman saya berperan aktif dalam pengerjaan proyek pengembangkan perangkat lunak dalam berbagai jenis (puluhan proyek dalam kurun waktu 2008 - 2012), maupun membimbing penyelesaian tugas proyek mahasiswa (ratusan proyek Mata Kuliah, Kerja Praktek dan Karya Akhir), maka dapat saya simpulkan, bahwa faktor kritis yang menentukan derajat keberhasilan proyek perangkat lunak tersebut adalah faktor PEOPLE, atau manusianya. Pada tulisan ini, saya akan membahasa tentang faktor manusia/people.

Faktor manusia merupakan unsur yang terutama dalam menentukan sukses atau gagalnya suatu proyek pengembangan perangkat lunak. Sehingga jikalau ditanyakan apakah ada "silver bullets" dlm penentuan keberhasilan perangkat lunak, maka jawabnya adalah tanyakan pada setiap manusia yang terlibat dalam pengembangan proyek tersebut.

Secara mendasar, mengerjakan proyek perangkat lunak, tim pengembang harus selalu mengajukan tiga pertanyaan penting:

1) pertanyaan What, yakni menyangkut dimensi "what are we trying to do?";

2) pertanyaan Why, yakni "why are we doing that?";

3) pertanyaan How, yakni "how do we plan and execute to get it done?"

Ingat, menurut pengertian keilmuan software engineering, proyek perangkat lunak itu SELALU diberi pengertian "dalam kurun waktu tertentu". Proyek perangkat lunak harus memiliki deadline, atau batas akhir. Sehingga, setiap mereka yang terlibat harus memiliki tiga kemampuan dasar, yakni
1) kecerdasan. Kemampuan ini dibutuhkan untuk menemukan "the what" yang saya sebutkan diatas,
2) motivation. Kemampuan inimdibutuhkan untuk menemukan "the why"
3) skill atau kompetensi. Kemampuan ini dibutuhkan untuk menemukan "the how".

Jadi, singkatnya, bentuklah tim pengembang perangkat lunak yang memiliki kemampuan untuk menjawab pasangan - pertanyaan tersebut diatas. Isu disini bukanlah berapa banyak anggota tim pengembang. Sedangkan hanya satu orang anggota tim pengembang, tapi jika dia bisa "berfungsi" dalam konteks menjawab pertanyaan tersebut diatas, maka keberhasilan suatu proyek pengembangan perangkat lunak, sudah hampir dipastikan. Dalam pengalaman saya membimbing mahasiswa pun, maka setiap mahasiswa yang mampu terus-menerus menemukan jawaban dari tiga pertanyaan tersebut diatas, mereka cenderung akan lebih berhasil dalam pengerjaan tugas proyek.

Mari kita lihat sebuah gambaran, dari sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Di era tahun-tahun awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka negara ini memiliki tiga tokoh penting, terkait bahasan diatas! Yang pertama Indonesia punya Soekarno, beliau memiliki peran sebagai figur yang menmberi jawaban "the why" atas berdirinya NKRI. Saat berpidato, maka Bung Karno, sanggup memotivasi segenap rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia memiliki pemahaman dan semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan mau dengan tekad bulat membayar dengan harga nyawa. Figur yang kedua adalah Muhammad Hatta, atau Bung Hatta. Beliau adalah figur yang menjawab pertanyaan "the what" terkait pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep beliau tentang ekonomi kerakyatan dan administrasi penyelenggaraan negara, benar-benar mampu menjawab bentuk seperti apa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini jadinya. Figur ketiga adalah Panglima Besar Jendral Soedirman. Beliau adalah figur yang menjawab pertanyaan "the how", beliau memiliki skill sebagai seorang pejuang, petarung yang kompeten untuk melakukan peperangan di garis depan. Saya bukan seorang pakar sejarah, tapi saya berkeyakinan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa bertahan di tahun tahun awal kemerdekaannya, karena Indonesia punya "the why" Bung Karno, "the what" Bung Hatta, dan "the how" Panglima Besar Soedirman.

Joe Marasco mengajarkan bahwa, the what, the why dan the how akan mampu menyelesaikan proyek perangkat lunak yang relatif sukses memenuhi kriteria proyek perangkat lunak yang berhasil. Menurut Joe, mappingnya adalah seperti ini:
what  →  intelligence  →  the brain (analytic);
why  →  motivation  →  the soul (affective); and
how  → skills  → the sword (pragmatic implementation).

Selanjutnya, Joe menulis:
what →  intelligence →  customer focus →  the brain (analytic);
why →  motivation →  integrity →  the soul (affective); and
how →  skills →  results orientation → the sword (pragmatic implementation).

Melihat "best practices" dari Joe Marasco, maka tentu saja, kita mulai memahami, bahwa faktor people dan managing people merupakan hal krusial dalam pengembangan perangkat lunak. Saya sebagai seorang profesional Teknologi Informasi, selalu menggunakan paradigma Joe Marasco dalam mengembangkan proyek perangkat lunak, dan sebagai dosen saya selalu membimbing mahasiswa2 saya untuk mengikuti paradigma sukses dari Joe Marasco tersebut. Sebaliknya, jika ketiga spektrum Joe Marasco ini tidak terlihat lagi dalam suatu proyek pengembangan perangkat lunak, maka saya bisa pastikan, kegagalan proyek TI tersebut sudah diambang pintu. 
Sudah waktunya untuk melakukan perubahan, dan perubahan itu selalu dimulai dari me, myself and I ... keep asking: "what are we trying to do?"; "why are we doing that?"; "how do we plan and execute to get it done?"


Catatan: Tentang Joe Marasco
JOE MARASCO retired as a senior vice president and business-unit manager for Rational Software in 2003 after 17 years of service. From 2005 to 2008, he was president and CEO of Ravenflow, a software start-up addressing requirements definition using natural language processing. He is the author of The Software Development Edge: Essays on Managing Successful Projects (Addison-Wesley, 2005

Mengapa sukar menilai valuasi start up TIK?

Saya merupakan pembaca setia dari blogger @rahards. Nama blog beliau adalah Padepokan Budi Raharjo (klik disini untuk menemukan blog Padepokan Budi Raharjo ). Saya kenal beliau sebagai seorang dosen, berkualifikasi S3, yang mengajarkan Keamanan Komputer dan Jaringan Komputer.

Singkat cerita, kemaren (Senin, 23 April 2012), beliau memposting ttg kegiatan beliau hari ini, Selasa, 24 April 2012, akan membawakan materi mengenai Pendanaan Start Up di bidang ICT. Klik disini selngkapnya http://rahard.wordpress.com/2012/04/23/pendanaan-startup-di-bidang-ict/
Saya pun langsung membaca materi presentasi beliau (yang dapat diunduh disini selengkapnya http://www.scribd.com/doc/90749326/Pendanaan-Startup-ICT )

Yang menarik perhatian saya adalah, pada halaman dua materi tersebut, beliau menulis bahwa:
Bank belum memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menilai resiko kredit dan usaha di bidang TIK, sehingga mereka cenderung konservatif dalam menilai. Sebagai contoh, belum ada metode untuk menilai valuasi dari sebuah start up TIK. Akibatnya secara umum start up akan kesulitan mendapatkan pendanaan dari Bank.
(baca disini selengkapnya http://www.scribd.com/doc/90749326/Pendanaan-Startup-ICT)

Dalam keilmuan manajemen Investasi Teknologi Informasi, sebenarnya telah dikembangkan banyak metode terkait menilai valuasi dari sebuah start up TIK. Mulai dari metode konvensional (seperti ROI, IRR, NPV dan Payback Period) hingga metode yang lebih komprehensif (seperti Information Economics, Balanced ScoreCard, IT Valuation Matrix ataupun IT Value Network).

Semua metode tersebut diatas sebenarnya dapat digunakan untuk menilai valuasi start up TIK! Dan saya yakin, metode tersebut diatas dapat memberikan gambaran resiko atas suatu start up TIK. Tantangannya disini adalah apakah pihak Bank mau menggunakan pendekatan2 tersebut diatas dalam melakukan analisa kredit dan manajemen resiko?

Saya berikan sebuah contoh dalam menilai valuasi start up TIK, berupa Pembangunan Aplikasi Perangkat Lunak berbasis Web. Selengkapnya dapat diunduh disini.

Dengan menggunakan teknik Function Point Analysis, maka kita mendapatkan estimasi besar, lama waktu pengerjaan, hingga jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan. Tinjauan ini dapat menjadi acuan awal untuk menghitung valuasi, dengan menggunakan ROI, NOV dan Payback Period.

Untuk riset riset saya terkait menilai valuasi suatu investasi awal TIK, dapat dilihat disini selengkapnya ...

Sabtu, 21 April 2012

Sarjana Teknik Informatika (bag 1)


Banyak yang bertanya kepada saya, mengapa menjadi Sarjana Teknik Informatika? Jawaban yang akan diberikan oleh masyarakat umum cenderung adalah: kemudahan üntuk mendapatkan pekerjaan! Tetapi apakah benar menjadi seorang sarjana teknik informatika itu hanya sekedar untuk mendapatkan pekerjaan?

Mari kita lihat kutipan dari ABET (Lembaga Standar Areditasi Internasional) ...
CRITERIA FOR ACCREDITING ENGINEERING PROGRAMS
Effective for Reviews During the 2012-2013 Accreditation Cycle

Kalau kita ingin menemukan kata ïnformatics (sebagai terjemahan dari informatika) maka kita tidak akan mendapatkannya. Seperti kita ketahui, di Amerika, cabang keilmuan informatika itu disebut Computer Science (atau Ilmu Komputer). Mengenai informatika, ilmu komputer dan rekayasa perangkat lunak, akan saya terangkan pada bagian tulisan yang lain.

Pada halaman 11 dari dokumen itu khusus untuk Elektro deng Komputer (Informatika), tertulis:

PROGRAM CRITERIA FOR ELECTRICAL, COMPUTER, AND SIMILARLY NAMED ENGINEERING PROGRAMS
Lead Society: Institute of Electrical and Electronics Engineers
Cooperating Society for Computer Engineering Programs: CSAB
The curriculum for programs containing the modifier “electrical” in the title must include advanced mathematics, such as differential equations, linear algebra, complex variables, and discrete mathematics.

Jika diterjemahkan secara bebas, maka kalimat tersebut berarti: 
kurikulum untuk program-program yang menggunakan kata keterangan "electrical", HARUS memasukkan matematika lanjut, seperti persamaan diferensial, aljabar linier, variabel kompleks, dan matematika diskret.

Kriteria standar seperti ini yang membedakan jenis pendidikan kesarjaanaan dan jalur vokasi (profesional). Pendidikan kesarjanaan elektro dan informatika harus BERDASAR pada keilmuan matematika seperti yang disebutkan diatas. Jika tidak ada, ini berarti suatu pendidikan S1 Elektro dan Informatika TIDAK STANDAR.

Berikut saya berikan kutipan dari milis dosen te_unsrat:
Ambe jo contoh, di bawah nama perguruan tinggi, di bawah suatu jurusan yang berjudul Teknik Elektro ato Informatika, di bawah mata kuliah dengan judul tarolah Kecerdasan Buatan Komputasional kong kase tugas beking program rekognisi tulisan. Napa d p algoritma dia cuma da unduh dari internet ada orang so beking rekognisi tulisan pake jaringan saraf tiruan. Jadi tu mahasiswa p karja cuma beking d p rancis-rancis tampilan deng sagala rupa, apa lagi pake bahasa visual le cuma banya di click and drag, kong tu kode sumber yang merupakan bagian utama dari d p tugas, yang dia cuma ada unduh, dia kurang se maso pa d p program. Jadi ini mahasiswa p kemampuan (kompetensi) cuma bahasa pemrograman yang dia ada pake itu. Tu konsep matematika jaringan saraf tiruan dia nentau, jadi dia nentau le itu algoritma di balik kode sumber rekognisi tulisan yang dia ada unduh itu, dia cuma tau bahwa itu kode sumber for rekognisi tulisan menggunakan jaringan saraf tiruan cuma dari d p judul. Jadi ini mahasiswa ini pure dummy user terhadap algoritma rekognisi tulisan berbasis jaringan saraf tiruan tadi. D p kompetensi cuma bahasa pemrograman yang dia pake itu. So paling tinggi yang dia tau dari kode sumber yang dia unduh tadi itu cuma apa d p masukan kong apa d p keluaran, d p isi sama sekali dia nentau alias blank. Jadi apa d p beda deng kursus pemrograman? Dari pada mendustai diri sandiri, berlindung di balik nama suatu perguruan tinggi, berlindung di balik nama suatu jurusan, berlindung di balik judul mata kuliah Intelegensia Komputasional, lebe bae to the point jo: KURSUS PEMROGRAMAM KOMPUTER.
Sama deng anak-anak SMK itu no, dia p karja cuma merakit komponen-komponen yang so jadi. Jadi anak SMK jo so cukup nda perlu sarjana-sarjana sagala rupa.

Inilah yang saya maksudkan dengan menjadi Seorang Sarjana Teknik Informatika! Sudah jelas, bahwa seorang sarjana teknik itu BERBEDA dengan sekedar seorang programmer, apalagi hanya user (pengguna) aplikasi komputer.

Signifikansi perbedaannya ada pada kemampuan intellectual skills yang dibangun diatas pondasi keilmuan matematika dasar dan matematika lanjut. Ciri ini SANGAT PRINSIP. Kita tidak bisa menyebut diri kita sebagai seorang SOFTWARE ENGINEER, apabila kita tidak menguasai matematika dan matematika lanjut.

Jumat, 20 April 2012

diantara dua dunia ...


Saya awali tulisan ini dengan kutipan dari milis grup dosen te_unsrat – revitalisasi kurikulum
…. Kalu mo bacarita dikotomi jalur pendidikan yaitu:  (1) Jalur Diploma (vocational), dengan ciri khas dominasi practical skill; (2) Jalur Sarjana, dengan ciri khas dominasi intellectual skill ….
….. maka torang so musti memberi artikulasi yang jelas dari tataran konsep (penyusunan Kurikulum, GBPP, SAP) sampe di tataran pelaksanaan bahwa torang memang benar-benar sedang menyelenggarakan program pendidikan jalur sarjana dan bukan jalur diploma. Kalu nyanda, maka dua-dua tong nda dapa, mo bilang jalur sarjana teori payah, mar mo bilang jalur diploma le d p praktek payah. Ini kayaknya yang perlu diperhatikan dalam rangka apa yang disebut dengan revitalisasi kurikulum ini. Salah satu ciri bahwa torang ini adalah program sarjana (dan bukan program diploma) ya persentase (percentage) ilmu-ilmu dasar pa torang p kurikulum, kalu nda salah 15% - 20% stouw ta kurang jelas le d p angka. So musti perkuat ilmu-ilmu dasar (basic sciences)….. 
….. Computer graphics juga merupakan gagasan matematik yang diimplementasikan ke dalam komputer. Semakin torang mo mendalami computer graphics semakin torang terjebak dalam matematika dan itu juga sekali lagi adalah ilmu dasar. Jadi bohong besar kalu mangaku tahu computer graphics tanpa menguasai matematika bahkan sampe kalkulus matriks. Kalu ada orang merasa menguasai computer graphics kong dia capai itu tanpa melalui penguasaan matematika maka yakinlah yang dia kuasai itu cuma de pe aspek practical saja dan tidak lebih, yang dia pegang itu cuma de pe aspek vocational saja dan tidak lebih ….

Tujuan pendidikan program sarjana (dan vokasi) sudah tertulis jelas, namun pada kenyataannya, setiap dosen di garis depan, masih tetap “bergumul” dalam menerapkan kurikulum (termasuk kurikulum berbasis kompetensi). Tarik menarik antara berfokus pada “teori” dan berfokus pada “praktek” membuat para dosen sering “keteteran”. Terlebih dalam dunia keilmuan Teknik Informatika, Ilmu Komputer, Sistem Informasi dan Teknologi Informasi, dimana perkembangan “praktek” sangat pesat.

Saya termasuk sedikit diantara beberapa dosen, yang sebelum menjadi akademisi, telah terlebih dahulu menekuni dunia professional TI (dengan memiliki beberapa sertifikasi). Sehingga, bagi saya, garis-batas antara dunia praktis dan akademis itu TERLIHAT JELAS. Berikut pemahaman saya mengenai dua – dunia tersebut:
Dunia akademis (intellectual skill):
-  memiliki standar yang terukur (yang dinyatakan dengan gelar berjenjang, S1, S2, S3)
- mengandalkan paradigma riset dalam menyelesaikan masalah, sehingga HARUS memiliki dasar matematis yang kuat.
- memiliki jenjang pendidikan yang cenderung berlanjut – bertingkat (semester awal menjadi dasar untuk semester berikutnya). Karakteristik berlanjut – bertingkat ini yang masih sering “gagal” dipahami oleh mahasiswa dan masyarakat umum
Dunia Profesional (practical skill):
- memiliki standar yang kadang (belum) terukur secara jelas; biasanya kompetensi hanya dinyatakan dengan “pengakuan” diri sendiri dan/atau masyarakat dan sertifikasi dalam organisasi profesi
- mengandalkan paradigma “try and error” dalam penyelesaian masalah, sehingga tidak perlu memiliki dasar matematis yang kuat, cukup memiliki kemauan untuk terus belajar dengan mencoba berbagai hal baru
- tidak memiliki jenjang pendidikan yang berlanjut – bertingkat, hanya perlu memiliki pengalaman tertentu.

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah saya bisa rangkum dalam kalimat berikut:
mengapa setelah menyelesaikan kuliah (mencapai gelar S1 misalnya) sulit untuk mendapatkan pekerjaan?
Saya bisa menulis sebuah pertanyaan lain:
apakah menyelesaikan kuliah hanya sebagai modal untuk mendapatkan pekerjaan?

Pertanyaan yang gampang – gampang susah untuk dijawab. Karena pertanyaan ini mencoba untuk menggabungkan dua dunia yang sepertinya berbeda: dunia akademis dan dunia vokasi/professional. Dunia akademis memiliki tujuan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan intellectual skill, sedangkan dunia vokasi/profesional mengembangkan kemampuan practical skill. Perbedaan SIGNIFIKAN sudah nyata. 

Disatu sisi, pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan keilmuan, dan ini berarti HARUS memperkuat paradigm riset, dengan berbasis pada ilmu-ilmu dasar (terutama matematika). Sedangkan di sisi lain, masyarakat umum (apalagi orang tua) berharap lulusan perguruan tinggi harus cepat diserap dunia kerja, sehingga calon sarjana harus dilengkapi dengan kemampuan praktis.

Dimana kita akan berdiri? Sikap mana yang akan kita ambil?

Memilih yang satu akan mengorbankan yang lain, sementara berusaha menggabungkan keduanya, akan cenderung menghasilkan lulusan yang “setengah-setengah”. Nurani setiap dosen selalu terganggu dengan kedua pertanyaan ini …. dimana saya harus berdiri?
Pada akhirnya, kita hanya bisa memilih untuk diri sendiri, dimana kita akan berdiri. Begitu juga setiap mahasiswa: apakah kita akan berfokus pada “intellectual skill” atau pada “practical skill”. Jika kita berkerinduan untuk mengembangkan keilmuan, maka tentu saja mengembangkan intellectual skill adalah pilihan kita, dan ini berarti harus berusaha menguasai ilmu-ilmu dasar.
mungkin sudah sepatutnyalah setiap mereka yang akan memasuki dunia pendidikan tinggi, berpikir “dua – kali”. Sekiranya anda ingin memasuki dunia kerja secepat mungkin, maka jalur pendidikan vokasi HARUS menjadi pilihan anda. Sedangkan yang ingin mengembangkan keilmuan, silahkan menempuh jalur pendidikan tinggi yang berjenjang (menyiapkan diri hingga S3).

Saya telah MEMILIH dan BERSIKAP untuk mengembangkan keilmuan … oleh karena itu saya “meninggalkan” dunia professional TI, dulunya sebagai pelaku aktif menjadi pengamat aktif.

Rabu, 18 April 2012

Membimbing Mahasiswa ...

Akhirnya lega ...

Itulah yang aku rasakan setelah kedua mahasiswa bimbingan saya, selesai mengikuti Seminar Kerja Praktek. Sebenarnya sudah sering saya membimbing mahasiswa Kerja Praktek dan Tugas Akhir, tapi kali ini agak sedikit berbeda. Kedua mahasiswa ini merupakan dua mahasiswa pertama yang aku bimbing dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Pendekatan yang berbeda ini didasarkan pada prinsip-prinsip dibawah ini.

Beberapa prinsip untuk keberhasilan proses pembimbingan:
1) Prinsip Keterbukaan.
Proses pembimbingan sebenarnya adalah proses "belajar - mengajar"; dimana esensinya adalah terjadi interaksi antara pihak dosen dan mahasiswa. kedua-duanya harus belajar! Keterbukaan antara dosen dan mahasiswa menjadi esensi yang sangat krusial untuk terjadi. Mahasiswa harus dapat mengungkapkan hal2 yang tidak dipahami, sedemikian juga seorang dosen pembimbing harus berupaya memahami, bukan menghakimi apa yang diungkapkan mahasiswa.
Sebenarnya dalam menerapkan prinsip keterbukaan ini, diperlukan "asumsi dasar" bahwa dosen bukanlah "tuan" tapi rekan; dan mahasiswa adalah rekan bukan "bawahan".

2) Prinsip Kolaborasi.
Yah, harus ada kolaborasi antara pihak yang membimbing dan pihak yang dibimbing. Kolaborasi ditinjau dari tujuan. Dosen dan mahasiswa harus punya tujuan yang sama, yakni menyelesaikan Kerja Praktik dengan hasil yang maksimal. Target mendapat nilai "A" kadang2 perlu ditentukan sebagai acuan-kesepakatan bersama.

3) Prinsip Umpan Balik.
Umpan balik merupakan prinsip berikutnya. Yang saya maksudkan disini adalah dosen dan mahasiswa harus saling memeriksa dan memeriksa ulang setiap output langkah2 penyelesaian masalah. Ini penting dan tidak boleh terlewati. Frekuensi interaksi dosen dan mahasiswa harus dilakukan dalam kadar yang cukup. Menggunakan media apapun boleh boleh saja. Yang penting disini adalah dosen dan mahasiswa saling paham akan arti dan makna bahasa yang digunakan.

4) Prinsip keterlibatan.
Saya kira prinsip ini yang terpenting untuk diterapkan dosen dan mahasiswa. Kadar keterlibatan kedua belah pihak akan menjadi ukuran kesuksesan pelaksanaan proses bimbingan. Keterlibatan bukanlah sekedar bertemu, tapi juga saling memahami. Dari pengamatan saya, keterlibatan ini yang sering tidak terjadi dalam proses pembimbingan.

Demikian tulisan saya. Kedua mahasiswa saya yang mengikuti sidang seminar Kerja Praktek hari ini, Rabu, 18 April 2012 berhasil mendapat nilai "A". Meskipun banyak catatan2 perbaikan yang harus dilakukan, kedua mahasiswa tersebut dapat mengatasi "ketakutan" mereka, dan yang terpenting mereka mendapat pengetahuan-karena-pengalaman, bahwa Kerja Praktek merupakan proses kehidupan yang sangat nikmat ....

Godspeed!!!

Jumat, 13 April 2012

Workshop e - Journal Unsrat

Melelahkan .... dan membanggakan!

Hari ini, seharian penuh turut serta mengikuti Workshop e - Journal di Lantai 4 Kantor Pusat Univsrsitas Sam Ratulanngi Manado. Kegiatan ini dihadiri oleh semua utusan Program Studi masing-masing fakultas. Beberapa "petinggi" pun turut hadir. Termasuk Dekan Fakuktas Teknik, yang mengambil tempat duduk di barisan depan. Saya, bersama beberapa rekan dosen muda, memilih duduk di barisan paling belakang. Ruang Sidang Rektorat Unsrat tampak penuh dengan peserta workshop.

Rupanya kegiatan ini, di sponsori langsung oleh Pak Rektor. Beliau mendesak supaya sesegera mungkin mengimplementasikan aplikasi Pengelolaan Jurnal Digital oleh semua Prodi dalam lingkungan Unsrat. Ini merupakan arahan langsung dari Pak Mendikbud, terkait kurangnya publikasi jurnal ilmiah oleh universitas2 negeri di Indonesia (yang terbanyak adalah Institut Teknologi Bandung). Atas dasar itu, pak Rektor "mendesak" supaya segera dilakukan kegiatan pelatihan, bagi setiap pengelola jurnal digital, di setiap prodi.

Pusat Teknologi Informasi - PTI, sudah menyiapkan Aplikasi Pengelolaan Journal Digital, dengan mengambil disain template dari Open Jurnal System (disingkat OJS). OJS merupakan suatu aplikasi open-source yang menampung hampir seluruh proses bisnis terkait editing, reviewing dan displaying Jurnal Ilmiah. Selengkapnya tentang OJS disa diketahui disini: http://pkp.sfu.ca/?q=ojs

Dari sisi manajemen Teknologi Informasi maka langkah Unsrat menggunakan aplikasi OJS sudah tepat, apalagi "top management" telah "mendesak" agar segera dilakukan implementasi e-journal. Yang menjadi tantangan ke depan hanyalah "menyiapkan" para pengelola e-journal yang mau tidak mau harus "tunduk" pada "aturan bisnis" yang telah ada pada Aplikasi OJS. Penyesuaian diri dalam menggunakan setiap fitur2 dalam aplikasi OJS adalah tantangan yang akan dihadapi dalam "road map" implementasi OJS.

Dari sisi analyst - developer sistem informasi, tentu saja hal ini sangat disayangkan. Karena sebaik-baiknya suatu aplikasi, maka akan lebih baik apabila aplikasi itu dikembangkan sendiri (in house) oleh stakeholders organisasi. Karena relatif akan lebih menjamin, kesesuaian proses bisnis dalam aplikasi. Tapi, biar bagaimanapun, top management, lebih mementingkan faktor "time to market" aplikasi, sehingga OJS menjadi pilihan terbaik.

Dilema ini, adalah pros and cons dalam dunia analisis dan disain sistem informasi dan tata kelola Teknologi Informasi. Mempertimbangkan untuk mengambil keputusan pada suatu implementasi produk TI haruslah menjadi tugas dari top management Universitas Sam Ratulangi. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan banyak aspek.

Kita belum dapat "menilai" apakah keputusan menggunakan aplikasi OJS adalah "yang terbaik". Saya lebih cenderung ingin memberikan waktu. Mungkin dalam beberapa tahun kedepan, akan terlihat dengan sendirinya, apakah keputusan ini memang "tepat". Proses suatu aplikasi bisa memberikan manfaat terukur bagi kinerja organisasi, membutuhkan waktu, dan kadang-kadang membutuhkan waktu yang cukup lama.

Semoga Unsrat makin maju, menuju Excellent University!

catatan:
selengkapnya tentang e-Journal Unsrat, bisa diakse disini: http://ejournal.unsrat.ac.id/
selengkapnya tentang Aplikasi Repositori Unsrat, bisa diakses disini: http://repo.unsrat.ac.id/