Pengantar Tulisan:
Masih ingatkah para pembaca dengan nyanyian ini: HOM PIM PA 4L4Y-IUM GAMBRENG ...???
Beberapa
waktu lalu, tepatnya di hari Kamis, 21 Januari 2011, saya diundang oleh
Pak Odi Kaunang (host Radio TalkShow SMART Digital Lifestyle) untuk
turut serta bersama beliau, dalam acara Seminar dan Bedah Buku SMART
Digital LifeStyle. Acara ini diselenggarakan di Aula Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (Fakultasi ISIP) Universitas Sam Ratulangi
(Unsrat) Manado. Sponsor acara adalah Radio SMART FM dengan didukung
oleh kalangan akademisi dan mahasiswa jurusan Komunikasi ISIP Unsrat.
Menarik
perhatian saya, karena buku yang diberi judul DIGITAL LIFE STYLE ini
ditulis (dan dirangkum) oleh Pak Odi; yang selain adalah host acara
Radio Talk “Digital Life Style” SMART FM, juga merupakan akademisi
Teknologi Informasi (TI) sekaligus professional TI (pemimpin salah satu
perusahaan konsultan Manajemen TI). Selain Pak Odi, juga ada beberapa
“penulis” lain dalam buku tersebut. Masing-masing penulis, memaparkan
hal ikhwal yang terkait tentang “tetek-bengek” Teknologi Informasi. Saya
sendiri dimintakan menulis satu bab, yang diberi judul “Perspektif
Teknologi Informasi”. Hal mana, bab tersebut merupakan bab terakhir
dalam buku DIGITAL LIFE STYLE, sehingga, menurut hemat saya, sedikit
menggambarkan “kesimpulan” dari seluruh bahasan dalam buku tersebut.
(Tentang tulisan ini selengkapnya, sudah dimuat dalam salah satu blog
Pak Odi Kaunang di ... http://odikaunang.blogspot.com/ …………)
Nah,
yang “semakin” membuat keheranan saya adalah pihak penyelenggara acara
tersebut (selain SMART FM); juga adalah pihak akademisi dan mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Komunikasi. Sudah jelas,
isi dari buku DIGITAL LIFE STYLE adalah “kelakuan” (dalam dialek Manado;
artinya “perilaku” atau “gaya hidup”) yang terkait Teknologi Informasi.
Awalnya, saya mendapat “kesan” bahwa kegiatan ini seperti “ga
nyambung”. Mengapa harus ada “bedah buku” yang berbau Teknologi
Informasi dalam komunitas akademik Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Kesan
saya, langsung berubah “180 derajat”; saat tiba di lokasi
penyelenggaran dan terlibat dengan percakapan serius dengan Pembantu
Dekan, yang saya panggil “Engku Max”. Beliau, yang sudah memasuki usia
“paruh-baya” sarat dengan pengalaman sebagai seorang pendidik dalam
lembaga pendidikan tinggi formil dan organisasi keagamaan yang berbau
“pendidikan”. Dari percakapan serius dengan beliau saya mendapatkan
banyak “insight” dan “pandangan” orisinil terkait paradigm pendidikan;
pengaruh Teknologi Informasi dalam disiplin keilmuan Komunikasi; dan
keterkaitan erat antara Teknologi Informasi dengan “social impact” dalam
kehidupan segenap lapisan masyarakat.
SCL BLENDED
adalah salah satu “insight” yang saya dapatkan dalam percakapan dengan
“engku Max”. SCL BLENDED sebenarnya bukanlah “barang” baru. Dan sudah
pasti, kata ini tidak ada dalam “vocabulary” Inggris modern. Sejujurnya,
saya lebih suka menyebut ini sebagai bahasa “Inggris” yang di
“Indonesia” kan. [:D:D:D]
SCL BLENDED; atau
Student Centered Learning BLENDED; lebih merupakan akronim dari paradigm
dan metode “baru” yang saya yakini dalam melakukan “pendidikan”
khususnya di kalangan perguruan tinggi. Entah istilah ini baru ataupun
lama (namun saya yakin, ini merupakan istilah lama). Namun, saat
mendapat “pemahaman” baru; maka saya merasa sepertinya ini merupakan hal
yang “baru”? Sungguh sangat subyektif. [hehehehe].
Studen
Centered Learning adalah paradigma yang menempatkan “student” atau
“mahasiswa” sebagai subyek pendidikan. Nilai seorang “student” dialihkan
dari sekedar obyek menjadi subyek; sebagai pelaku utama dalam proses
bisnis pendidikan. Praktisnya, jika di waktu-waktu lalu, kita (termasuk
saya tentunya) dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang berpusat pada
“teacher” atau disebut “Mneer” (dalam dialek Manado) sekarang ini
“pusat” proses bisnis pendidikan harus dialihkan kepada “mahasiswa”.
Masih pekat dalam ingatan saya, saat berkuliah dulu, saking “sakti”-nya
seorang Mneer dihapadan mahasiswa; maka apabila kami berpapasan dengan
seorang “Mneer”; sepertinya rasanya mau lari “tumingkas” (dialek Manado
yang berarti lari menghindar terbirit-birit).
Sekarang,
paradigma pendidikan tinggi yang seperti itu, “rasanya’ sudah tidak
cocok lagi untuk diyakini, dimaknai dan diaplikasikan dalam suasana
pendidikan tinggi di abad informasi seperti sekarang ini. Pengaruh
“tanpa ampun” dan “tanpa henti” dari “social media”; sedikit banyak
telah mengubah konteks atau suasana pendidikan tinggi. Kebebasan
informasi menandai suatu babak baru (shifted-era) dalam pola masyarakat
berkomunikasi, termasuk dalam “komunikasi” antara semua pihak yang
terlibat dalam dunia pendidikan tinggi khususnya.
Ide
inilah yang saya tangkap saat bertukar pikiran dengan “Engku Max”.
Beliau, yang berlatar belakang seorang ahli dalam disiplin ilmu
“komunikasi”; termasuk komunikasi sosial; telah memahami betapa pengaruh
Teknologi Informasi itu dalam penemuan sarana komunikasi dan “content”
komunikasi itu sendiri.
Inilah yang saya maksudkan dengan BLENDED.
Istilah BLENDED lebih cenderung pada memanfaatkan setiap metode-metode
atau sarana komunikasi sosial yang lebih “advance” atau lebih
up-to-date. Jika, di waktu-waktu lampau, seorang “Mneer” hanya
menggunakan metode tunggal dalam member kuliah (yakni tatap-muka dan
ceramah); maka sekarang ini, dengan SCL-BLENDED, seorang “Mneer” harus
bisa sedikit bervariasi dalam metode pengajaran; dengan mengadopsi semua
“teknik” yang telah disediakan oleh “Teknologi Informasi”.
Implementasi
SCL BLENDED bisa bermacam-macam, mulai dari pemanfaatan LCD Projector
hingga kuliah e-Learning dalam kelas terbuka (bukan dalam ruang kelas
konvensional), dengan memanfaatkan infrastruktur jaringan internet
(dimana di Universitas Sam Ratulangi, telah cukup memadai).
Intinya
adalah suatu perubahan paradigm pendidikan HARUS terjadi. Harus terjadi
pada “mahasiswa” maupun “Mneer”. Mahasiswa, sebagai subyek pendidikan
harus mulai mengubah ‘life-style’ berkuliah selama ini. Paling tidak,
perubahan life-style itu harus terjadi dalam hal antusiasme dan
keterlibatan.
Tidak boleh lagi ada mahasiswa yang
berharap, bahwa saat datang kuliah, telah tersedia “makanan” siap-saji.
Sekarang ini, mahasiswa sendiri yang harus “meramu”, “menyiapkan” dan
kemudian “menyantap” makanan tersebut. Ini berarti mahasiswa HARUS aktif
dan dinamis dalam belajar. Tidak boleh bersikap “menunggu bola”; tapi
harus bersikap “menjemput bola”. Ini yang saya maksudkan dengan
“antusias”.
Forum diskusi, baik face-to-face maupun
dalam forum digital merupakan “bukti” tentang KETERLIBATAN mahasiswa.
Ketrampilan berdiskusi termasuk diantaranya kemampuan mengemukakan
ide/gagasan ataupun memaparkan ide/gagasan secara terstruktur merupakan
ketrampilan yang harus dikuasai. Kecenderungan yang saya dapatkan dalam
perkuliahan adalah mahasiwa bertindak seperti “anggota dewan” yang
terhormat; yang terkenal dengan slogan 4D (datang, duduk, diam, duit).
Hari ini, saya menulis status facebook saya seperti ini: ….
".. mengajar
Generasi #4L4Y5, dengan kurikulum berbasis #4L4Y, menggunakan metode
#4L4Y, untuk menghasilkan Generasi #4L4Y5 Terbaik, bagi Nusa dan Bangsa
#4L4Y tercinta ... Kuliah Perdana: Menyanyikan Lagu Kebangsaan #4L4Y5
[sing] hom pim pa "4L4Y"-ium gambreng [sing] (oooiiii, yang bener
nyanyi-ny ya ...)"
Status ini merupakan “seruan”
hati saya untuk PERUBAHAN. Apakah kita akan menjadi Generasi 4L4Y5? yang
pada akhirnya akan menentukan kelangsungan hidup bangsa di masa
mendatang.
Akankah Republik Indonesia BENAR-BENAR
menjadi Republik 4L4Y5 … karena masyarakatnya, mahasiswanya,
dosen-dosennya HANYA BISA bermain dan bernyanyi HOM PIM PA 4L4Y-IUM GAMBRENG ???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar