Rabu, 04 April 2012

Generasi 4L4Y5 - 484b1L5




Pengantar Tulisan:
Masih ingatkah para pembaca dengan nyanyian ini: HOM PIM PA 4L4Y-IUM GAMBRENG ...???
 
Beberapa waktu lalu, tepatnya di hari Kamis, 21 Januari 2011, saya diundang oleh Pak Odi Kaunang (host Radio TalkShow SMART Digital Lifestyle) untuk turut serta bersama beliau, dalam acara Seminar dan Bedah Buku SMART Digital LifeStyle. Acara ini diselenggarakan di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fakultasi ISIP) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Sponsor acara adalah Radio SMART FM dengan didukung oleh kalangan akademisi dan mahasiswa jurusan Komunikasi ISIP Unsrat.

Menarik perhatian saya, karena buku yang diberi judul DIGITAL LIFE STYLE ini ditulis (dan dirangkum) oleh Pak Odi; yang selain adalah host acara Radio Talk “Digital Life Style” SMART FM, juga merupakan akademisi Teknologi Informasi (TI) sekaligus professional TI (pemimpin salah satu perusahaan konsultan Manajemen TI). Selain Pak Odi, juga ada beberapa “penulis” lain dalam buku tersebut. Masing-masing penulis, memaparkan hal ikhwal yang terkait tentang “tetek-bengek” Teknologi Informasi. Saya sendiri dimintakan menulis satu bab, yang diberi judul “Perspektif Teknologi Informasi”. Hal mana, bab tersebut merupakan bab terakhir dalam buku DIGITAL LIFE STYLE, sehingga, menurut hemat saya, sedikit menggambarkan “kesimpulan” dari seluruh bahasan dalam buku tersebut. (Tentang tulisan ini selengkapnya, sudah dimuat dalam salah satu blog Pak Odi Kaunang di ... http://odikaunang.blogspot.com/ …………)

Nah, yang “semakin” membuat keheranan saya adalah pihak penyelenggara acara tersebut (selain SMART FM); juga adalah pihak akademisi dan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Komunikasi. Sudah jelas, isi dari buku DIGITAL LIFE STYLE adalah “kelakuan” (dalam dialek Manado; artinya “perilaku” atau “gaya hidup”) yang terkait Teknologi Informasi. Awalnya, saya mendapat “kesan” bahwa kegiatan ini seperti “ga nyambung”. Mengapa harus ada “bedah buku” yang berbau Teknologi Informasi dalam komunitas akademik Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Kesan saya, langsung berubah “180 derajat”; saat tiba di lokasi penyelenggaran dan terlibat dengan percakapan serius dengan Pembantu Dekan, yang saya panggil “Engku Max”. Beliau, yang sudah memasuki usia “paruh-baya” sarat dengan pengalaman sebagai seorang pendidik dalam lembaga pendidikan tinggi formil dan organisasi keagamaan yang berbau “pendidikan”. Dari percakapan serius dengan beliau saya mendapatkan banyak “insight” dan “pandangan” orisinil terkait paradigm pendidikan; pengaruh Teknologi Informasi dalam disiplin keilmuan Komunikasi; dan keterkaitan erat antara Teknologi Informasi dengan “social impact” dalam kehidupan segenap lapisan masyarakat.

SCL BLENDED adalah salah satu “insight” yang saya dapatkan dalam percakapan dengan “engku Max”. SCL BLENDED sebenarnya bukanlah “barang” baru. Dan sudah pasti, kata ini tidak ada dalam “vocabulary” Inggris modern. Sejujurnya, saya lebih suka menyebut ini sebagai bahasa “Inggris” yang di “Indonesia” kan. [:D:D:D]

SCL BLENDED; atau Student Centered Learning BLENDED; lebih merupakan akronim dari paradigm dan metode “baru” yang saya yakini dalam melakukan “pendidikan” khususnya di kalangan perguruan tinggi. Entah istilah ini baru ataupun lama (namun saya yakin, ini merupakan istilah lama). Namun, saat mendapat “pemahaman” baru; maka saya merasa sepertinya ini merupakan hal yang “baru”? Sungguh sangat subyektif. [hehehehe].

Studen Centered Learning adalah paradigma yang menempatkan “student” atau “mahasiswa” sebagai subyek pendidikan. Nilai seorang “student” dialihkan dari sekedar obyek menjadi subyek; sebagai pelaku utama dalam proses bisnis pendidikan. Praktisnya, jika di waktu-waktu lalu, kita (termasuk saya tentunya) dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang berpusat pada “teacher” atau disebut “Mneer” (dalam dialek Manado) sekarang ini “pusat” proses bisnis pendidikan harus dialihkan kepada “mahasiswa”. Masih pekat dalam ingatan saya, saat berkuliah dulu, saking “sakti”-nya seorang Mneer dihapadan mahasiswa; maka apabila kami berpapasan dengan seorang “Mneer”; sepertinya rasanya mau lari “tumingkas” (dialek Manado yang berarti lari menghindar terbirit-birit).

Sekarang, paradigma pendidikan tinggi yang seperti itu, “rasanya’ sudah tidak cocok lagi untuk diyakini, dimaknai dan diaplikasikan dalam suasana pendidikan tinggi di abad informasi seperti sekarang ini. Pengaruh “tanpa ampun” dan “tanpa henti” dari “social media”; sedikit banyak telah mengubah konteks atau suasana pendidikan tinggi. Kebebasan informasi menandai suatu babak baru (shifted-era) dalam pola masyarakat berkomunikasi, termasuk dalam “komunikasi” antara semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan tinggi khususnya.

Ide inilah yang saya tangkap saat bertukar pikiran dengan “Engku Max”. Beliau, yang berlatar belakang seorang ahli dalam disiplin ilmu “komunikasi”; termasuk komunikasi sosial; telah memahami betapa pengaruh Teknologi Informasi itu dalam penemuan sarana komunikasi dan “content” komunikasi itu sendiri.
Inilah yang saya maksudkan dengan BLENDED. Istilah BLENDED lebih cenderung pada memanfaatkan setiap metode-metode atau sarana komunikasi sosial yang lebih “advance” atau lebih up-to-date. Jika, di waktu-waktu lampau, seorang “Mneer” hanya menggunakan metode tunggal dalam member kuliah (yakni tatap-muka dan ceramah); maka sekarang ini, dengan SCL-BLENDED, seorang “Mneer” harus bisa sedikit bervariasi dalam metode pengajaran; dengan mengadopsi semua “teknik” yang telah disediakan oleh “Teknologi Informasi”.

Implementasi SCL BLENDED bisa bermacam-macam, mulai dari pemanfaatan LCD Projector hingga kuliah e-Learning dalam kelas terbuka (bukan dalam ruang kelas konvensional), dengan memanfaatkan infrastruktur jaringan internet (dimana di Universitas Sam Ratulangi, telah cukup memadai).

Intinya adalah suatu perubahan paradigm pendidikan HARUS terjadi. Harus terjadi pada “mahasiswa” maupun “Mneer”. Mahasiswa, sebagai subyek pendidikan harus mulai mengubah ‘life-style’ berkuliah selama ini. Paling tidak, perubahan life-style itu harus terjadi dalam hal antusiasme dan keterlibatan.

Tidak boleh lagi ada mahasiswa yang berharap, bahwa saat datang kuliah, telah tersedia “makanan” siap-saji. Sekarang ini, mahasiswa sendiri yang harus “meramu”, “menyiapkan” dan kemudian “menyantap” makanan tersebut. Ini berarti mahasiswa HARUS aktif dan dinamis dalam belajar. Tidak boleh bersikap “menunggu bola”; tapi harus bersikap “menjemput bola”. Ini yang saya maksudkan dengan “antusias”.

Forum diskusi, baik face-to-face maupun dalam forum digital merupakan “bukti” tentang KETERLIBATAN mahasiswa. Ketrampilan berdiskusi termasuk diantaranya kemampuan mengemukakan ide/gagasan ataupun memaparkan ide/gagasan secara terstruktur merupakan ketrampilan yang harus dikuasai. Kecenderungan yang saya dapatkan dalam perkuliahan adalah mahasiwa bertindak seperti “anggota dewan” yang terhormat; yang terkenal dengan slogan 4D (datang, duduk, diam, duit).

Hari ini, saya menulis status facebook saya seperti ini: ….
".. mengajar Generasi #4L4Y5, dengan kurikulum berbasis #4L4Y, menggunakan metode #4L4Y, untuk menghasilkan Generasi #4L4Y5 Terbaik, bagi Nusa dan Bangsa #4L4Y tercinta ... Kuliah Perdana: Menyanyikan Lagu Kebangsaan #4L4Y5 [sing] hom pim pa "4L4Y"-ium gambreng [sing] (oooiiii, yang bener nyanyi-ny ya ...)"

Status ini merupakan “seruan” hati saya untuk PERUBAHAN. Apakah kita akan menjadi Generasi 4L4Y5? yang pada akhirnya akan menentukan kelangsungan hidup bangsa di masa mendatang.

Akankah Republik Indonesia BENAR-BENAR menjadi Republik 4L4Y5 … karena masyarakatnya, mahasiswanya, dosen-dosennya HANYA BISA bermain dan bernyanyi HOM PIM PA 4L4Y-IUM GAMBRENG ???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar